Sejarah Perkembangan PMII

Info Rayon Sakera - Melihat dari historitas PMII. Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa mendatang. Dokumen historis, merupakan instrumen penting untuk membaca diri. Tidak terkecuali PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar dengan jelas. Berikut pemikiran dan sikapsikapnya.

PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, adalah anak  cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam sebuah dokumen yang dibuat di Surabaya, tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.

Meski begitu, bukan berarti lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan yang dihadapinya. Hasrat untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan memang sudah lama bergejolak di kalangan pemuda NU, namun pihak PBNU belum memberikan lampu hijau (green light), mereka menganggap belum perlu adanya suatu organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang belajar di Perguruan Tinggi.

Namun semangat anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus berkobar dari kampus ke kampus. Kondisi ini adalah hal yang niscaya mengingat kondisi sosial politik pada dasawarsa ‘50-an memang sangat memungkinkan untuk melahirkan organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan di bawah payung induknya, seperti SEMMI (dengan PSII), KAMMI (dengan PERTI), HMI (lebih dekat ke MASYUMI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HIMMAH (dengan al-Washliyah). Wajar jika anak-anak NU khususnya yang berada di perguruan tinggi kemudian ingin mendirikan wadah sendiri dan bernaung di bawah panji dunia. Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad.

Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Di antara sekian banyak pertimbangannnya antara lain; kekhawatiran PBNU terhadap waktu, sumber daya manusia, pembagian tugas, dan efektifitas organisasi. Karenanya menjadi wajar kalau pengurus PBNU monolak karena takut terjadi rangkap jabatan dimana akan berdampak terbengkalainya sebagian yang lain dalam kinerjanya.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Baru setelah wadah "departemen" itu dinilai tidak efektif, tidak cukup kuat untuk menampung aspirasi mahasiswa NU, hal ini kemudian menjadi gagasan legislasi untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU kembali. Tepat pada konferensi besar IPNU I (14-16 Maret 1960 di Kaliurang) merupakan puncak dari semua ambisi tersebut. Hasil dari konfrensi tersebut ialah kesepakatan mendirikan organisasi sendiri. Selain memutuskan akan perlu didirikannya organisasi khusus di perguruan tinggi konfrensi tersebut juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 orang tokoh mahasiswa NU dengan jangkah waktu kerja 1 bulan, adapun 13 tokoh mahasiswa NU tersebut diataranya:
1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)  
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)  
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU, KH. Idham Cholid, memberikan lampu hijau (green light). Bahkan KH. Idham Cholid membakar semangat pula agar mahasiswa NU menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan, bukan ilmu untuk ilmu.

Selanjutnya pada tanggal 14-16 April 1960 diakan musyawarah Mahasiswa NU di sekolah Mualimat NU (1954-1960) yang sekarang bernama Yayasan Khadijah Surabaya. Adapun hasil dari musyawarah tersebut ialah; 1. Disepakati berdirinya organisasi Mahasiswa NU yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, 2. PMII merupakan lanjutan dari departemen Perguruan Tinggi IPNU-IPPNU (Wildy Sulthon Baidlowi, PC PMII Surabaya Online), 3. Menyatakan bahwa PMII lahir pada tanggal 17 April 1960, 4. Membentuk tiga orang formatur yaitu H. Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, A. Cholid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum PB PMII Pertama. Selanjutnya susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru terbentuk pada bulan Mei 1960 lewat kandungan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang baru lahir itu diberi nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” (PMII).

Dengan demikian, ide dasar bendirinya PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Selanjutnya, harus bernaung di bawah panji NU, itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis temporal, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Lebih dari itu, keterikatan PMII pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita, bahkan pola berpikir, bertindak, dan berperilaku. 

PMII Dalam Makna
Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “PERGERAKAN”. Makna kata tersebut bagi PMII melambangkan dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Adalah, bahwa mahasiswa merupakan insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ke-Tuhanan dan kemanusiaan, agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah fil Ardh. Dalam konteks individual, komunitas, maupun organisasi, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang lebih baik sebagai perwujudan tanggung jawab memberikan rahmat pada lingkungannya.

“MAHASISWA” yang terkandung dalam PMII menunjuk pada golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas. Di samping itu, mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, insan akademik, insan social, dan insan mandiri.

“ISLAM” adalah Islam sebagai agama pembebas atas ketimpangan sistem yang ada terhadap fenomena realitas sosial dengan paradigma Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang melihat ajaran agama Islam dengan konsep pendekatan yang proporsional antara Iman, Islam, dan Ihsan. Hal ini tercermin dalam pola pikir dan perilaku yang selektif, akomodatif, dan integratif.

“INDONESIA” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah, ideologi bangsa (Pancasila) dan UUD ‘45 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran berwawasan nusantara.  

Formulasi dan Orientasi Gerakan PMII  
PMII pada awal terbentuknya merupakan gerakan underbow NU baik secara struktural atau secara fungsionalnya. Karena memang kondisi dan situasi politik pada waktu itu masih panas. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi pada partai politik sepenuhnya menyokong dan mendukung kemenangan partai. Karenanya, gerakan PMII pada waktu itu masih sangat terasa berbau politik praksis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Keterlibatan PMII dalam politik praksis pada tahun 1971 berakibat kemunduran dalam aspek gerakan. Kondisi ini kemudian membawa penyadaran akan perlunya mengkaji ulang orientasi gerakan PMII selama ini, khususnya keterlibatan-keterlibatan dalam politik praksis.

Setelah melalui beberapa perbincangan maka pada musyawarah besar tanggal 14-16 Juli 1972, PMII mencetuskan deklarasi independen di Malang, Jawa Timur. Deklarasi ini kemudian dikenal dengan deklarasi MURNAJATI. Setelah itu PMII sacara formal-struktural terpisah dengan NU, kemudian PMII membuka akses sebesar-besarnya sebagai organisasi yang independen tanpa berpihak pada parpol apapun. Independensi gerakan ini terus dipertahankan dan dipertegas dalam “Penegasan Cibogo” pada tanggal 8 Oktober 1989. Bentuk independensi merupakan respon terhadap pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai-ilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai dengan ajaran Islam, Aswaja.

Kemudian pada kongres X PMII pada tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, memutuskan untuk mempertegas kembali hubungan PMII-NU dengan melahirkan pernyataan “Independensi PMII-NU”, penegasan ini berdasarkan pada pokok pikiran berikut:
a. Adanya ikatan historis antara PMII dengan NU. Keorganisasian PMII yang independen hendaknya tidak dipahami secara sempit sebagai upaya untuk mengurangi atau menghapuskan ikatan historis tersebut.
b. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU, keutuhan komitmen ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia.

Isi Deklarasi Murnajati Deklarasi Murnajati
Bismillāhirrahmānirrahīm

"Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang dititahkan kepada manusia untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah perbuatan yang mungkar".

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin serta bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya.

Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan insan-insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta tanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selaku generasi muda Indonesia, sadar akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Bahwa perjuangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan jiwa Deklarasi Tawangu menurut perkembangannya merupakan sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa bertanggung jawab.

Berdasarkan petimbangan di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memohon rahmat Allah Swt., dengan ini menyatakan diri sebagai Organisasi ”independen” yang tidak terikat tindakannya kepada siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

Tim Perumus Deklarasi Murnajati
1. Umar Basalim (Jakarta)
2. Madjidi Syah (Bandung) 
3. Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta)
4. Man Muhammad Iskandar (Bandung)
5. Choirunnisa Yafzham (Medan)
6. Tatik Farichah (Surabaya)
7. Rahman Idrus
8. Muis Kabri (Malang)

Musyawarah Besar PMII Ke-2 di Murnajati Malang Jawa Timur tanggal 14 Juli 1972

Isi Penegasan Cibogo   
Penegasan Cibogo 
Bismillāhirrahmānirrahīm 
Bahwa INDEPENDENSI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan sikap organisasi menjadi ketetapan Kongres V Tahun 1973 sebagai pengukuan terhadap Deklarasi MURNAJATI di Mubes III, 14 juli 1972 di Murnajati Malang Jawa Timur.

Bahwa INDEPENDENSI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan manifestasi dari kesadaran organisasi terhadap tuntutan kemandirian, kepeloporan, kebebasan berpikir, dan berkreasi, serta bertanggung jawab sebagai kader, ummat dan bangsa.

Bahwa ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan upaya merespon pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia periode 1989-1990, setelah melakukan kajian kritis dan dengan memohon rahmat Allah SWT. menegaskan kembali bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah organisasi independen yang tidak terikat dalam sikap dan tindakannya kepada siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila, dan terus mengaktualisasikan dalam hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Wallāhul-muwaffiq ilā Aqwāmith-thāriq 

Medan, Rapat Pleno IV PB PMII, Cibogo 8 Oktober 1989  
Manifest Independen Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Bismillāhirrahmānirrahīm

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin serta bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera, selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya.Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan insan-insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta tanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selaku generasi muda Indonesia, sadar akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Bahwa pada dasarnya pengisian kemerdekaan adalah didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi dengan sosialisasi ilmu ke sikap kultural guna mengangkat martabat dan derajat bangsa.Bahwa pada hakekatnya ”independensi” sebagaimana telah dideklarasiakan di MURNAJATI adalah merupakan manifestasi keadaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berpikir dan pembangunan kreativitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Bahwa ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisasi dan mengembangkan potensi kultural yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam untuk terbentuknya pribadi luhur dan bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam perjuangan nasional berdasarkan Pancasila.Bahwa dengan ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berlandaskan Islam dan berhaluan Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Medan, Kongres V PMII Ciloto Jawa Barat Tanggal 28 Desember 1973 

Pola-Pola Kepemimpinan PMII
Pola-pola kepemimpinan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus tercermin/menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan organisasi dengan dijiwai oleh isi: "Deklarasi Murnajati".

Konsekuensi dari pendirian tersebut di atas menurut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yang bersifat kerakyatan dengan berorientasikan kepada masalah-masalah kemahasiswaan, kampus, dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperlukan pemimpim-pemimpin organisasi yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti dinamis, kreatif, responsif, dan peka terhadap problem-problem kemasyarakatan.

Dengan pemahaman sepenuhnya terhadap azas, sifat, dan tujuan PMII serta kemampuan managerial, leadership, menjadi tuntunan mutlak bagi kepemimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Oleh karenanya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang independen harus menjauhkan seluruh kemungkinan yang akan mengurangi makna dari independensi tersebut, seperti perangkapan jabatan pengurus PMII dengan partai atau organisasi lain atau menjadi wakil organisasi lain pada badan-badan legislatif. Medan, Kongres V PMII,  Ciloto Jawa Barat Tanggal 28 Desember 1973.

Deklarasi Interdependensi PMII-NU
Bismillāhirrahmānirrahīm

1. Sejarah telah membuktikan bahwa PMII adalah dilahirkan dari pergumulan mahasiswa yang bernaung di bawah kebesaran NU, dan sejarah juga telah membuktikan bahwa PMII telah menyatakan idependensinya melalui Deklarasi MURNAJATI tahun 1972.
2. Kerangka berpikir, perwatakan, dan sikap sosial antara PMII dengan NU mempunyai persamaan, karena dibungkus pemahaman Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah.
3. PMII insaf dan sadar bahwa dalam melakukan perjuangan diperlukan untuk saling tolong menolong, "ta'āwanū ‘alal-birri wattaqwā", Ukhuwah Islamiyah (izzul Islam wal muslimin) serta harus mencerminkan "mabādi khoiru ummah" (prinsip-prinsip umat yang baik), karena itulah PMII siap melakukan kerjasama.
4. PMII insaf dan sadar bahwa arena dan lahan perjuangannya adalah sangat banyak dan bervariasi sesuai dengan nuansa usia, jaman, dan bidang garapannya.

Karena antara PMII dan NU mempunyai persamaanpersamaan di dalam persepsi keagamaan dari perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, ikatan historis, maka untuk menghilangkan keragu-raguan, ketidakmenentuan serta rasa saling curiga, dan sebaliknya untuk menjalin kerja sama program secara kualitatif dan fungsional, baik secara program nyata maupun penyiapan sumber daya manusia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menyatakan siap untuk menigkatkan kualitas hubungan dengan NU atas dasar prinsip kedaulatan organisasi penuh, INTERDEPENDENSI, dan tidak ada intervensi secara struktural-kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia.


Kongers X  PB  PMII

Pondok Gede Jakarta, Tanggal 27 Oktober 1991


Wacana Penentuan Paradigma Gerakan Mahasiswa bersama PMII


Oleh: Tirmidi 

Abstrak Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara telah menyebabkan masyarakat memiliki peluang-peluang untuk melakukan penyaluran aspirasi dan kontrolnya terhadap penyelenggara negara melalui berbagai saluran yang ada. Kondisi ini menyebabkan hilangnya posisi dan peran mahasiswa  Indonesia sebagai kelompok tengah yang selama berpuluh tahun telah dinikmatinya.  Hilangnya peran sebagai middle man ini kemudian mahasiswa berada pada posisi “ada” tapi tidak dibaca. Kondisi ini sebangun dengan posisi hamzah washal ber-harakah sukn dalam kaidah Bahasa Arab. Tidak boleh tidak, paradigma baru harus segera dirumuskan. Tawaran paradigma yang dapat dijadikan pemikiran awal ialah perubahan dari hamzah washal menjadi hamzah qatha’ (hamzah yang tertulis dan terbaca keberadaannya pada setiap posisi) yang secara aplikatif dirumuskan sebagai peneguhan karakter: Mahasiswa adalah Calon Profesional, dan Calon Pemimpin. Untuk itu, tawaran paradigma untuk PMII ialah Lembaga Pengkaderan Calon Pemimpin Bertauhid, dan Calon Pemimpin Karismatik.

Hantaran berdasarkan pengamatan terbatas yang dapat penulis alami dan penulis rasakan, gerakan mahasiswa, khususnya PMII, masih kental dengan romantisme gerakan mahasiswa tahun 90-an, yang lengkap dengan segala aroma bahadur atau heroismenya. Nuansa perjuangan, dan semangat yang diusung masih dilingkupi oleh atmosfer posisi dan peran mahasiswa sebagai middle man, culture broker, perantara, penyambung aspirasi, atau parlemen jalanan; suatu posisi dan peran mulia dari mahasiswa dalam masyarakat Indonesia yang memang cocok dan dibutuhkan oleh masyarakat hingga akhir tahun 90-an. Penulis berani menyatakan bahwa posisi dan peran mahasiswa yang seperti itu memang cocok dan memang dibutuhkan oleh masyarakat karena hingga akhir tahun 90-an negara ini memang diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang sengaja menyumbat saluran komunikasi dan saluran aspirasi masyarakat melalui pendekatan sentralistik, dan militeristik dalam pengelolaan negara, dan pendekatan represif dalam pemeliharaan keamanan.

Pendekatan sentralistik dikejawantahkan mulai dari pembentukan opini hingga aplikasi teknis dalam pengelolaan negara. Fenomena ini secara gamblang dapat dilihat melalui tersentralnya tafsir atas UUD, P4, GBHN, dan peraturan-peraturan yang ada sedemikian sehingga perbedaan pendapat akan langsung diberikan stigma-stigma sebagai agen dari organisasi terlarang. Penyeragaman opini ini kemudian diwujudkan secara lebih jelas melalui penerbitan buku-buku yang memiliki opini senada, dan pelarangan atas buku-buku yang memiliki opini berbeda, dan sumir.

Secara aplikatif dan teknis penyelenggaraan negara, dapat kita inventarisir betapa sentralistiknya negara kita saat itu dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, terutama dalam  pengambilan keputusan teknis tentang siapa akan mengelola apa. Sampai-sampai, saat itu, trias politika tidak lagi dapat dilihat efektifitas keberadaan dan fungsinya karena pilar penyelenggara negara telah tergerus tinggal eksekutif saja, itu pun pengambil keputusannya  tidak beralamat di Istana Negara melainkan di tempat lain, di sebuah kawasan elit dan sakral di Jakarta.

Untuk mendukung dan menjamin efektifitas capaiancapaian sentralistik ini, negara kemudian memberlakukan kebijakankebijakan yang dipandang lebih gampang untuk diseragamkan komandonya. Tidak heran, saat itu, sebisa mungkin pemegang jabatan strategis pada tingkat menteri, kepala BUMN, gubernur, bupati, camat, dan lurah dilakukan dengan proses penunjukan. Prioritas utama adalah pada kalangan yang gampang dikomando, atau orang yang bangunan mindset-nya sudah berada pada level aman. Kalau terpaksa tidak ada, maka yang dipilih adalah orang yang dekat, kenal, dan dapat dipercaya loyalitasnya kepada penghuni sebuah alamat di Jakarta tersebut. Aroma seperti ini merebak mulai dari gedung dewan, terdapatnya ”sekretariatsekretariat” dan personil yang berfungsi mengawasi dan mengendalikan keamanan negara, mulai dari level nasional hingga desa-desa.

Dengan lebih mengedepankan pendekatan represif (sebagai lawan dari pendekatan kesejahteraan) dalam menjaga keamanan, maka lengkaplah teror oleh negara terhadap masyarakat saat itu. Melalui perspektif penjagaan keamanan negara yang lebih mengedepankan security approach, yakni protes, atau bahkan sekedar berbeda pendapat dengan opini resmi pemerintah  adalah makar sebelum bisa dibuktikan bahwa tidak demikian adanya) maka pengambilan tindakan pencegahan (preventive), berupa penjemputan tanpa surat penahanan, interogasi, penahanan, dan bahkan untuk hal-hal yang lebih jauh lagi oleh alat negara, adalah sah dan tidak bisa dituntut. Restriksi yang sangat menyiksa saat itu ialah diperbolehkannya alat negara untuk membubarkan perkumpulan dengan jumlah peserta lebih dari 10 orang bila dipandang perkumpulan itu berpotensi untuk melakukan hal-hal yang dianggap makar. Bila dalam suatu pertemuan, yang dilakukan atas seijin pemerintah sekalipun, ternyata pertemuan tersebut dipandang melakukan pembahasan yang bersifat makar, maka pemerintah boleh membubarkan secara paksa pertemuan tersebut, dan menangkap orang yang hadir.

Dalam kondisi seperti ini maka seseorang, kelompok, atau media yang berani mengambil posisi kritis kepada pemerintah harus bersiap dipangkas hak-hak sipilnya, seperti anggota Pokja Petisi 50 (Alm. Ali Sadikin, dkk), eksponen 66 (Hariman Siregar, Marsilam Simanjuntak, dkk), Almarhum Gus Dur bersama NU-nya, Megawati Soekarnoputri bersama PDI-nya, Adnan Buyung Nasution, Budiman Sujatmiko, Alm. Munir, dll. Bila hal itu terjadi pada media maka bersiaplah media itu untuk di breidel, seperti Tabloid Detik, Majalah Tempo, dan Majalah Editor.

Ketiga kondisi ini kemudian membawa negara ke dalam kondisi yang lebih jauh, yakni nasib dan arah negara berada dan diatur oleh segelintir orang saja. Dapat ditebak, selera dan kepentingan segelintir orang tersebut menjadi arah kebijakan negara: tanpa pernah ada pembahasan tentang aspirasi rakyat. Sebaliknya, rakyat tidak boleh protes karena segala bentuk protes berarti mengundang alat negara untuk ’menyelesaikannya’. Keresahan masyarakat hanya boleh disalurkan melalui doa-doa saja; tidak boleh dalam bentuk pamflet, selebaran, apalagi demonstrasi.

Sebagai sebuah konsekuensi logis, individu, atau kelompok kritis menjadi sangat terbatas jumlahnya karena setiap orang pada dasarnya takut menanggung resiko yang sangat berat, yakni hilangnya hak-hak sipil. Selain itu, alat negara juga tidak segan untuk menangkap individu-individu kritis dengan tujuan memberikan efek jera (shock therapy) kepada individu yang lain yang berancang-ancang untuk mengambil posisi yang sama.

Demikianlah, saat itu lokomotif perubahan kemudian mengkristal kepada tokoh-tokoh yang memiliki basis organisasi massa besar, seperti Gus Dur dengan NU-nya, Megawati dengan PDI-nya, dan kantong-kantong gerakan mahasiswa secara umum. PMII bersama beberapa organisasi yang tergabung dalam kelompok Cipayung saat itu menjadi enclave (daerah kantong) bagi mahasiswa kritis, idealis, pejuang dan kekuatan moral (moral force), dan, meskipun penulis kurang sependapat, agents of change.

Inilah sekedar paparan tentang romantisme gerakan mahasiswa hingga tahun 90-an. Tidak lebih dan tidak kurang, ini hanya sebuah bahan untuk merefleksi dan perbandingan untuk menganalisa saat ini. Harapan penulis, kita dapat mendudukkan ini dalam logika hermeneutik.

Kondisi Saat ini, bagi penulis yang mengalami dua masa, yakni masa Orde Baru dan masa pasca Reformasi, kondisi saat ini telah banyak mengalami perubahan-perubahan penting terkait keterbukaan informasi, penyaluran aspirasi masyarakat, dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan negara. Perubahan ini, satu dan lain hal, disebabkan oleh perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, pendekatan militeristik ke pendekatan sipil, dan pendekatan represif ke pendekatan kesejahteraan.

Pertama ialah perubahan dari sistem sentralistik ke sistem otonomi daerah. Terlepas dari adanya dan banyaknya anomali dalam pelaksanaannya, hari ini negara kita sudah menganut sistem desentralisasi dalam pengelolaannya, yakni melalui kebijakan otonomi daerah. Konsekuensinya, terdapat distribusi kewenangan dalam pengambilan keputusan teknis, yakni antara pusat dan daerah. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya alam sudah tidak lagi tersentral.

Selain itu, dengan dihapuskannya ambivalensi posisi dan peran alat keamanan negara, trias politika sudah mulai berfungsi sehingga pilar penyelenggara negara tidak lagi berpusat kepada eksekutif saja melainkan lembaga yang lain, yakni legislatif dan yudikatif pun relatif sudah mulai memperoleh tempatnya. Implikasi dari kebijakan ini ialah hilangnya perwakilan perwakilan alat keamanan negara dari gedung dewan. Implikasi yang lebih jauh ialah jabatan-jabatan strategis pada tingkat menteri, kepala BUMN, gubernur, bupati, camat, dan lurah tidak lagi semata-mata harus dari kalangan dengan mind-set berpola top-down melainkan dari kalangan yang memiliki akar yang kuat pada masyarakat basis atau orang-orang yang betul-betul profesional. Pada jabatan-jabatan tersebut telah disusun prosedur dan seleksi fit and proper test.

Kedua ialah perubahan dari pendekatan militeristik ke pendekatan sipil dalam menangani masyarakat. Dapat kita lihat bahwa hari ini terdapat keterbukaan saluran komunikasi antara penyelenggara negara dengan masyarakat. Melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, masyarakat dapat memperoleh akses informasi yang cepat dan akurat atas berbagai kondisi dan fenomena di lapangan. Pemerintah tidak dapat lagi mengontrol media, karena, sejak dibukanya kebebasan untuk memperoleh informasi maka masyarakat tidak lagi mengandalkan media cetak tapi juga dapat memperolehnya melalui media-media visual (televisi swasta), dan media virtual (internet, dan situs-situs pertemanan).

Selain itu, hari ini juga telah dibuka kebebasan berpendapat, dan berekspresi bagi masyarakat. Masyarakat tidak perlu khawatir akan diawasi dan ditangani oleh “sekretariatsekretariat” alat keamanan negara karena semua “sekretariat” itu telah dikembalikan lagi fungsinya hanya sebagai tangsi atau barak saja. Semua kondisi ini kemudian menghapus semua restriksi untuk berkumpul yang pernah dilakukan pada masa lalu. Satu hal yang patut disyukuri ialah hari ini hampir-hampir tidak lagi terdengar ada pertemuan yang dibubarkan karena dianggap makar.

Terakhir, yakni yang ketiga ialah adanya perubahan dari pendekatan represif ke pendekatan kesejahteraan dalam menyikapi protes dan perbedaan pendapat. Pada masa lalu, protes, atau bahkan berbeda pendapat dengan opini resmi pemerintah, oleh alat keamanan negara, disikapi sebagai makar. Kalangan yang melakukan protes akan ditangkap dan baru dilepaskan bila terbukti tidak ada indikasi ke sana. Ini semua dilakukan karena segala bentuk protes dan perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara dan pemerintah. Saat ini, pendekatan ini sudah diganti dengan pendekatan prosperity approach, yakni protes disikapi sebagai ekspresi adanya ketimpangan dalam penyelenggaraan negara, atau ada ketidakpuasan dari masyarakat. Konsekuensi atas perubahan ini ialah tindakan untuk melakukan penahanan, penjemputan, dan interogasi telah dikembalikan kepada kepolisian; bukan lagi tentara. Oleh karena itu, seseorang, kelompok, atau media yang berani mengambil posisi kritis kepada pemerintah akan diproses secara hukum di pengadilan; tidak serta merta langsung ditangkap atau dibreidel seperti pada masa lalu.

Secara singkat dapat dinyatakan di sini bahwa komunikasi antara pemerintah dengan rakyat pada umumnya telah berubah dari kondisi yang penuh kebuntuan menjadi keterbukaan. Di satu sisi masyarakat tidak lagi takut untuk menyampaikan aspirasinya, dan di sisi yang lain pemerintah juga tidak lagi enggan untuk mengundang masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya melalui berbagai saluran yang ada.

Semua kondisi ini membawa dampak positif yang besar sekali bagi masyarakat. Akan tetapi, tanpa disadari, peran-peran perantara (middle man) dari kelompok kritis dan idealis seperti mahasiswa sebagaimana pada era 90-an menjadi tidak ada lagi. Hari ini yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kelompok yang dapat mendampingi mereka dalam kerja-kerja serius dan berdurasi panjang, seperti LSM, misalnya, dan kelompok-kelompok yang mampu melakukan transformasi di berbagai bidang yang ultimate goal-nya ialah terciptanya keadilan sosial, terutama yang berbasis keadilan ekonomi.

Tidak dibutuhkannya sosok yang berperan sebagai middle man ini merupakan konsekuensi logis dari terbukanya akses informasi dan komunikasi. Terasa sangat wajar bila kemudian kita mendapati suatu fenomena bahwa individu-individu yang dulu merupakan pendekar-pendekar demokrasi, sebagian memang sudah meninggal, tapi sebagian yang masih hidup, seperti Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simanjuntak, Hariman Siregar, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain telah melakukan transformasi diri dari peran-peran middle man menjadi profesional-profesional di bidangnya.

Sayang, mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kebingungan untuk mendefiniskan diri mereka dalam arus perubahan makro ini. setelah peran middle man-nya berangsur menghilang, sebagian mahasiswa menjadi sangat akademis (kuliah, menyelenggarakan penelitian kreatif mahasiswa, dan bercita-cita melanjutkan ke S2 dan S3 karena berminat melakukan kerja-kerja akademis), sebagian lagi menjadi sangat pragmatis (kuliah, cepat lulus supaya bisa segera masuk bursa tenaga kerja, dan kerja-kerja part-timer yang dapat menyokong kemandirian finansial, seperti bergabung dengan lembaga-lembaga bimbingan belajar, menyelenggarakan kursus-kursus privat, kerja-kerja pengambilan data lapangan atas penelitian yang dilakukan dosen, dan lain-lain), serta sebagian lagi sangat hedonis (sebagian besar waktunya habis untuk chatting, dan kongkow-kongkow di cafe atau warung kopi). Ada satu varian lagi yang dibelakang hari semakin memperoleh tempat di hati mahasiswa, yakni mahasiswa yang sangat fundamentalis (kelompok mahasiswa yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi atau Salafi).

Lebih disayangkan lagi, ternyata hari ini pengelompokan mahasiswa bukan lagi berdasarkan kategori: yang aktif di organisasi intra kampus (OMIK) dan organisasi ekstra kampus (OMEK); melainkan pragmatis, hedonis, akademis, dan fundamentalis. Artinya, PMII hari ini hanya menjadi kovarian saja, yakni kumpulan mahasiswa (mungkin mereka adalah mahasiswa yang terkategori sebagai pragmatis, hedonis, akademis, dan, meskipun agak sulit,  fundamentalis), yang mungkin kebetulan memiliki kesamaan background history, kesamaan simbol dalam beragama, atau sekedar karena berteman dengan kader PMII. Tidak lebih dan tidak kurang !

Kelihatannya, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di OMEK lain dalam kelompok Cipayung. Mohon dikoreksi kalau penulis keliru !

Refleksi, posisi dan peran kemasyarakatan mahasiswa hingga tahun 90-an, yakni sebagai middle man memiliki kemiripan dengan apa yang digambarkan oleh Sik, Anping, dan Loong (2004) pada pola komunikasi antara generasi pertama dengan generasi ketiga pada imigran Cina di New Zealand.  yang melakukan mediasi komunikasi antara generasi pertama dengan generasi ketiga imigran Cina di New Zealand. Sik et al. (2004) memperoleh temuan bahwa proses brokerage oleh generasi kedua kepada generasi pertama dan generasi ketiga dalam komunikasi keluarga imigran Cina di New Zealand terbagi menjadi dua, yakni Simple Communication System of Brokering dan Complex Communication System of Brokering.   Simple Communication System of Brokering ialah proses brokerage yang terjadi secara linear dari Broker sebagai inisiator ke Brokeree 1. Selanjutnya  Brokeree 1 akan berkomunikasi secara langsung ke Brokeree 2 tanpa melalui Broker lagi. Penggambaran komunikasi ini adalah sebagai berikut. 

Brokere - Broker - Brokere

1. Simple Communication System of
Kondisi brokering system seperti  ini dapat kita temukan dalam gerakan-gerakan mahasiswa dalam menyikapi keresahan di masyarakat dimana masyarakat sebenarnya tidak pernah memberikan mandat secara khusus, namun mahasiswa mengambil inisiatif untuk melakukan brokering, sebagai aktualisasi dari kesadaran bahwa mahasiswa adalah kelompok pejuang moral dan elit pemuda. Representasi dari format ini ialah gerakan-gerakan pemuda dan mahasiswa pada tahun 1928, pada masa perjuangan kemerdekaan, Tritura, peristiwa Malari, dan juga gerakan yang menuntut pembubaran SDSB, serta Gerakan Reformasi tahun 1998. Dalam peristiwa-peristiwa ini mahasiswa menyampaikan suara hati masyarakat kepada penguasa, kemudian penguasa mengambil tindakan yang memberikan dampak langsung kepada masyarakat (tanpa harus dimandatkan kepada mahasiswa).

Sementara, Complex Communication System of Brokering ialah proses brokerage yang terjadi secara bolak balik dari broker ke brokeree I dan kembali lagi ke broker. Setelah itu,  broker akan melanjutkan pesan ke brokeree 2, dan dari brokeree 2 pesan kembali ke broker. 

Brokere = Broker = Brokere

2. Complex Communication System of
Format ini sedikit khas merupakan gerakan penyampaian aspirasi masyarakat untuk hal-hal yang menyangkut isu khusus, lokal, dan berskala kecil. Contoh dari format ini ialah pendampingan yang dilakukan mahasiswa terkait penggusuran-penggusuran, ruislag atas beberapa bangunan penting dan bersejarah, pembebasan tanah yang dilakukan secara semena-mena atau menyalahi peruntukanperuntukan lahan terbuka hijau, dan isu-isu lokal lainnya. Dalam kasus-kasus ini masyarakat meminta bantuan kepada mahasiswa, kemudian mahasiswa menyuarakannya kepada penguasa, dan selanjutnya penguasa juga menyampaikan sikapnya kepada masyarakat melalui mahasiswa.

Pada kedua format brokering system ini mahasiswa melakukan peran-peran  sebagai penerjemah simbol-simbol budaya, peneliti, otoritatif, penggalang koalisi, dan aktifis. Peran-peran selaras dengan identifikasi peran-peran yang harus dilakukan oleh seorang mediator agar proses mediasi dapat dilaksanakan dengan sukses (Haenn, dan Casagrande, 2007).

Peran-peran itulah yang dibutuhkan untuk mampu menorehkan prestasi yang bukan saja tercapainya tujuan-tujuan jangka pendek, melainkan pembentukan budaya, politik, dan perubahan mendasar lainnya dalam suatu negara (Christensen, 2010).  Peran-peran tersebut merupakan refleksi dari posisi, menurut Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Clifford Geertz (1960), culture broker, yakni orang yang berdiri tegak di tengah-tengah persimpangan dua budaya, dan menerjemahkan satu budaya ke budaya lain secara timbal balik. Konsep berdiri di tengah-tengah persimpangan budaya menjadi titik tekan sebagaimana dinyatakan oleh Hallowel yang dikutip Michie (2003). Bila seseorang telah berpindah dari satu budaya kepada budaya yang lain, maka dia sudah bergeser dari perannya sebagai culture broker, karena dia sudah menjadi bagian dari budaya tempat dia berpindah. Konsep ini memiliki kemiripan dengan konsep change agent-nya Rogers (1983), yakni seorang profesional yang bertugas untuk melakukan penyebaran inovasi sebagaimana diinginkan oleh change agency.

Merefleksi atas apa yang terjadi terhadap posisi dan peran mahasiswa saat ini dimana mahasiswa sudah tidak dibutuhkan lagi perannya sebagai middle man, dalam kaidah Bahasa Arab, posisi dan peran ini sama dengan hamzah washal ber-harakat sukn. Pada awal kalimat,  hamzah washal  akan  ber-harakat kasrah.  Ia tertulis (tuktab) dan terbaca (tunthoq). Akan tetapi, ketika ia berposisi di tengah kalimat maka ia ber-harakah sukn, artinya ia tertulis (tuktab) namun tidak terbaca (la tunthoq).

Oleh karena itu, mahasiswa yang di dalamnya ada PMII, harus mengubah paradigma. Ia tidak boleh lagi melihat dirinya sebagai middle man, atau hamzah washal, kecuali ia siap untuk terus menerus dalam posisi disfungsi (sukn) dan perlahan akan memfosil. Proses fosilisasi diri middle man yang sudah mengalami disfungsi (sukn) ini telah menjadi perhatian Clifford Geertz pada tahun 1960.

Melalui artikel berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, Geertz (1960) menghentak alam bawah sadar para kyai di Indonesia dan kalangan intelektual di dunia untuk melihat bukti dari proposi yang dihasilkannya. Melalui tulisan ini penulis mengingatkan bahwa posisi mahasiswa sebagai middle man saat ini memiliki kemiripan dengan kondisi peran para kyai yang dipotret oleh Geertz pada tahun 1960. Bila tidak hati-hati, proposisi Geertz bahwa peran kyai akan tererosi dan perlahan akan habis dari bumi Indonesia, yang dikemudian hari ternyata tidak terbukti, malah justru menemukan pembuktiannya pada mahasiswa. Berikut ini paparan diskursus tentang keberlanjutan peran kyai sebagai culture broker di Indonesia.

Secara umum, kajian atas peran perantara budaya (middle man atau culture broker) masih berkutat pada respon terhadap proposisi Geertz (1960) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan negara modern, ulama diprediksi tidak akan mampu mempertahankan perannya di masyarakat bila tidak ada perubahan pandangan pada diri ulama dan perubahan kurikulum pesantrennya. Melalui artikel berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, Geertz (1960) menyatakan bahwa keberlanjutan peran kyai dan keterlibatannya dalam negara Indonesia Baru, berada pada dua pilihan, yakni tetap memegang teguh pada tradisi yang ada dengan meninggalkan hal-hal yang berbau pemerintah, atau menangkap peluang sebagai guru-politisi yang mengharuskannya untuk memiliki kemampuan-kemampuan untuk menghubungkan antara tradisi kota dan desa.

Dalam pandangan Geertz, kedua pilihan ini sama-sama mengandung resiko. Pilihan pertama beresiko terhadap erosi peran kyai dalam penyelenggaraan negara; sementara pilihan kedua mengandung resiko untuk diambilnya langkah-langkah perubahan atas sikap kyai terhadap politik dan perubahan kurikulum di pesantren untuk menangkap peluang-peluang dalam penyelenggaraan negara. Ini semua perlu diambil untuk mempertahankan peran ulama sebagai culture broker yang mampu melakukan mediasi antara budaya besar (great tradition) dan budaya kecil (little tradition) di Indonesia. Akan tetapi, secara tersirat, Geertz memprediksi bahwa peran ulama dalam pembangunan Indonesia Baru akan tererosi dan perlahan akan menghilang mengingat pilihan kedua dalam proposisinya akan sulit dilakukan oleh ulama.

Satu dekade berikutnya, proposisi Geertz ini terbantahkan oleh temuan dalam penelitian yang dilakukan Dhofier (1983) dan Horikoshi (1987) yang melakukan penelitian pada tahun 70-an. Pembuktian yang sama juga dilakukan oleh Mansurnoor (1990), dan Dirdjosanjoto (1999) yang sama-sama melakukan penelitian pada kajian tentang peran tokoh agama pada dekade 90-an.

Dalam penelitiannya, Dhofier (1983) maupun Horikoshi (1987) sama-sama mengemukakan temuan penting, yakni keberadaan kyai dan pesantren terbukti masih eksis, dan posisi serta peran mereka tetap penting dalam perkembangan Indonesia Baru. Salah satu faktor penting yang menyebabkan terpeliharanya eksistensi dan peran kyai ialah karena posisi ulama di Indonesia berbeda dengan kolega mereka di Timur Tengah. Ulama di Timur Tengah, sebagaimana dinyatakan Horikoshi (1987), dan Mansurnoor (1990) merupakan bagian dari birokrasi; sementara ulama di Indonesia bukan merupakan bagian dari birokrasi. Dengan kata lain, peran ulama di masyarakat ditentukan oleh kemampuannya untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat; bukan oleh kemampuannya untuk melayani negara. Oleh karena itu, selama ulama masih melayani dan dibutuhkan oleh masyarakat maka peranperannya tetap dibutuhkan.

Dialektika antara hasil penelitian Horikoshi (1987) tentang keberlanjutan peran tokoh agama dan hasil penelitian Dhofier (1983) yang menulis tentang aspek-aspek penting dari tradisi pesantren yang dapat menjaga popularitas kyai, dan pandangan hidup kyai tentang masyarakat dan masa depan memberikan gambaran yang saling melengkapi. Aspek-aspek penting yang berpengaruh dalam menjaga popularitas di masyarakat ialah ulama membangun suatu mekanisme khusus yang terdiri dari kesatuan ideologi, jaringan kekeluargaan, dan politik aliran (agama); dan kemampuannya untuk melakukan transformasi diri sesuai tuntutan masyarakat. Kemampuan tokoh agama untuk mempertahankan peran di masyarakat ini kemudian disempurnakan oleh Mansurnoor (1990) yang melakukan penelitian di Madura.

Dalam kajian Mansurnoor (1990) diperoleh temuan bahwa keberhasilan ulama untuk mempertahankan peran di sosial disebabkan oleh kesigapannya untuk merespon perubahanperubahan yang terjadi: semakin lengkap informasi yang diperoleh (well-informed) seorang ulama maka semakin cermat dan, oleh karenanya, reaksi yang diambilnya semakin menguntungkannya. Oleh karena itu, terkait respon terhadap informasi yang diperolehnya, Mansurnoor mengajukan proposisi berupa kategorisasi ulama, yakni konservatif, adaptif, dan progresif.

Selanjutnya, dalam penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2010 tentang Dinamika Peran Tokoh Agama dalam Difusi Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Fenomenologi di Komunitas Madura di Kabupaten Probolinggo, ditemukan benang merah atas perdebatan tentang kemampuan tokoh agama (kyai) di Indonesia untuk tetap berperan dalam tatanan negara bangsa bernama Indonesia. Benang merah itu ialah pada konsep konsistensi posisi sebagai culture broker dan konsep transformational leadership. Ternyata, perdebatan yang terjadi pada penelitian-penelitian terdahulu telah memberikan proposisinya pada salah satu konsep ini atau pada keduanya. Masing-masing memberikan kontribusi atas diperolehnya gambaran lengkap dari dinamika peran tokoh agama hingga hari ini. Oleh karena itu, tidak ada hasil penelitian terdahulu yang dibantah oleh hasil penelitian yang dilakukan penulis, karena setelah dilakukan analisa pada penelitian-penelitian terdahulu justru ditemukan benang merah dengan hasil penelitian ini, baik terhadap dua konsep secara bersama-sama atau pada salah satunya saja. Gambaran benang merah itu ialah sebagai berikut.

Pertama, teori yang dihasilkan oleh penulis mendukung proposisi Geertz (1960). Sebagaimana dipaparkan di atas, melalui tulisannya yang berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Roles of Cultural Brokers, Geertz (1960) memberikan prediksi bahwa kyai-kyai di Indonesia tidak akan mampu berperan secara signifikan dalam tatanan negara “Indonesia Baru” karena kyai-kyai dipandang tidak siap untuk berperan di sana. Indikasinya ialah bahwa sangat sulit menyatukan kyai dalam sebuah partai yang terpusat dan terstruktur karena masing-masing kyai terbiasa bekerja secara independen dan saling tidak mau berada di bawah yang lain. Akibatnya, kyai-kyai hanya mampu berkiprah sebagai pemimpin simbolik yang dibutuhkan hanya semata-mata sebagai vote getter. Akibat selanjutnya, partai yang didukung oleh kyai kemudian diisi dengan politisi-politisi profesional dan sekuler, sehingga para kyai tidak mampu mengawal misinya. Oleh karena itu, melihat kondisi yang seperti ini, Geertz (1960) menyatakan bahwa dalam posisi dimana terjadi kontestasi antara Islam Modern dan Islam Tradisional, maka Islam Tradisional akan terpinggirkan karena kelompok ini tidak akan mampu memenangkan kontestasi itu. Akan tetapi, Kelompok Islam Tradisional, dalam proposisi Geertz (1960), akan mampu mempertahankan peran dalam tatanan Indonesia baru bila: (1) kelompok ini bersedia mengubah kurikulum di pesantren sedemikian rupa sehingga tetap mampu memuaskan masyarakat desa, namun secara instrumental dapat bermanfaat bagi pertumbuhan Indonesia baru; (2) kelompok ini bersedia mengubah sikapnya terhadap perpolitikan nasional di tingkat lokal sedemikian rupa sehingga kyai dapat berperan dalam membuat kebijakan partai; bukan sekedar menjadi vote getter. Dari proposisi ini terlihat bahwa Geertz (1960) membantu kalangan pemimpin Islam tradisional tentang bagaimana cara melakukan transformasi diri dan pesantren agar dapat bekiprah dalam perpolitikan dan penataan Indonesia Baru. Benang merah dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis ialah “kemampuan tokoh agama untuk melakukan transformasi diri akan sangat menentukan dinamika perannya di masyarakat di masa mendatang”.

Kedua, teori yang dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan penulis mendukung proposisi Dhofier (1983) yang menyatakan bahwa pesantren dengan para kyainya masih tetap memiliki peran penting dalam perkembangan Indonesia karena pesantren dan kyai memiliki pandangan hidup untuk tetap berdiri tegak di atas landasan tradisi masa lampau sembari melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian terhadap tradisi baru yang dibutuhkan. Dengan demikian maka ada elemen-elemen yang dibuang dan ada elemen-elemen baru yang dimasukkan. Elemen-elemen lama yang masih dipertahankan misalnya semangat, nilai-nilai, dan hakikat pesantren. Sementara nilai baru yang dimasukkan seperti pengorganisasian pengajaran, pengembangan wawasan, penguasaan keterampilan yang dibutuhkan zaman dan mampu diselenggarakan oleh pesantren tanpa mengubah visi pesantren. Inilah yang membuat pesantren dan para kyai mampu exist dan tetap berperan di masyarakat. yang dilakukan satu dekade berikutnya. Ini berarti langkah-langkah transformatif berpengaruh terhadap kelangsungan peran kyai dan juga pesantren.

Dhofier (1983) mencoba melihat keberlangsungan peran tokoh agama di Indonesia dalam perspektif yang berbeda dengan Geertz (1960). Bila Geertz (1960) menggunakan perspektif Islam Tradisional dan Islam Modern dimana ia memperkirakan bahwa karier peran para kyai, sebagai pemimpin Islam Tradisional, dalam penataan Indonesia Baru akan berakhir karena kalah dalam kontestasi melawan kalangan Islam Modern, Dhofier (1983), sebaliknya, melihat fenomena Islam di Indonesia tidak dalam dikotomi Tradisional dan Modern, melainkan menggunakan pendekatan continuity and change, atau keberlangsungan di tengah perubahan.

Terlihat di sini bahwa meskipun Dhofier (1983) menggunakan pendekatan yang berbeda dengan Geertz (1960), namun proposisi yang dihasilkan memiliki kesamaan, yakni dibutuhkannya transformasi. Hanya saja, Geertz (1960) masih sebatas prediksi, dan saran tentang apa dan bagaimana transformasi harus dilakukan, sementara Dhofier (1983) memberikan eksplanasi transformasi apa yang telah dilakukan, dan mengapa transformasi itu bisa terjadi di pesantren dan kyai. Ini sekaligus menjawab mengapa hingga akhir tahun 1970-an pesantren dan kyai tetap ada dan mampu berperan di masyarakat.  Benang merah dengan penelitian yang dilakukan penulis ialah kemampuan melakukan transformasi diri berpengaruh terhadap keberlangsungan peran tokoh agama di masyarakat.

Ketiga, teori yang dibangun dari penelitian penulis mendukung proposisi yang ditawarkan oleh Horikoshi (1987), yakni terkait dengan kemampuan kyai dalam mempertahankan perannya di masyarakat. Horikoshi (1987) memberikan tiga proposisi, yakni(1) pemimpin tradisional dan masyarakat masih memiliki hubungan fungsional, (2) perubahan yang telah atau sedang terjadi membutuhkan fungsi ke-perantara-an, (3) strategi pemimpin tradisional tetap fungsional dengan fungsi keperantaraan itu sendiri. Terlihat di sini bahwa dua hal yang ditawarkan Horikoshi (1987), yakni poin (1) dan poin (3) merupakan perwujudan dari langkahlangkah sebagai transformational leadership, sedangkan poin (2) merupakan posisi tokoh agama sebagai culture broker. Dengan demikian, proposisi Horikoshi (1987) didukung penuh oleh teori yang dihasilkan dalam penelitian penulis.

Keempat, teori yang dihasilkan melalui penelitian penulis mendukung Mansurnoor (1990) yang memberikan tiga proposisi terkait kemampuan kyai mempertahankan perannya di masyarakat. Ketiga proposisi itu ialah (1) kemampuan kyai menjaga kecocokan arti dan  simbol-simbol agama bagi masyarakat, (2) kepemilikan akses terhadap informasi strategis dalam jaringan komunikasi, dan (3) keterikatan struktural dengan penduduk desa dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat lokal.

Poin (1) dan (2) dari proposisi Mansurnoor (1990) merupakan aktualisasi dari langkah-langkah dan attributes dari transformational leadership. Sebagaimana dipahami bahwa akses transformational leadership mempersyaratkan expert power dari seorang pemimpin. Salah satu piranti untuk membangun expert power ialah dengan memiliki informasi yang lebih cepat daripada pengikutnya. Sementara, poin (3) merupakan pengejawantahan dari posisi tokoh agama sebagai culture broker, karena keterikatan dengan struktur masyarakat lokal merupakan langkah untuk menjaga kepercayaan dari masyarakat dan secara bersamaan untuk menghindari bergesernya posisi sebagai agen dari posisi sebelumnya sebagai culture broker.

Kelima, teori yang dihasilkan melalui penelitian penulis juga mendukung proposisi yang diajukan Dirdjosanjoto (1999). Dalam penelitiannya di daerah Muria, Dirdjosanjoto (1999) menghasilkan proposisi yang berkaitan dengan kemampuan tokoh agama untuk mempertahankan perannya di masyarakat. Proposisi itu menyatakan bahwa peran kyai di masyarakat akan tetap mampu bertahan bila kyai mampu menjaga sumber-sumber kewibawaannya yang berasal dari (1) dukungan dan penerimaan masyarakat, (2) dukungan kelembagaan, (3) jaringan hubungan antar kyai, (4) hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan, dan (5) kualitas pribadi dalam bidang moral dan ilmu. Identifikasi poin-poin ini terpilah dalam dua hal, yakni sumber-sumber kewibawaan yang merupakan hasil dari konsistensi tokoh agama untuk terus berada pada posisi culture broker (poin 1, dan 2), dan sumber-sumber kewibawaan yang merupakan attributes dari transformational leadership (poin 3, 4, dan 5).

Keenam, teori yang dihasilkan oleh penelitian ini mendukung proposisi yang diajukan oleh Turmudi (2003). Dalam penelitiannya tentang peran kyai dalam bidang politik yang dilakukan di Jombang, Jawa Timur, Turmudi (2003) mengajukan proposisi bahwa, dalam bidang politik, kyai akan tetap menjalankan peran penting di masyarakat bila ia mampu mempertahankan posisi moralnya di masyarakat, dan masyarakat masih mempercayainya sebagai pembimbing moralitas bagi mereka. Ini sejalan dengan salah satu poin dari teori yang dihasilkan oleh penelitian ini, yakni dinamika peran tokoh agama dipengaruhi oleh konsistensinya pada posisi sebagai culture broker yang dibuktikan dengan loyalitas keberpihakannya kepada kepentingan umat.

Dengan kata lain, Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bila para kyai hingga hari ini masih memiliki peran di masyarakat, dan itu kemudian membantah prediksi dari Geertz, maka itu disebabkan oleh kemampuan kyai dan pesantren untuk melakukan perubahan-perubahan penting menyangkut konsep diri dan pembekalan atas piranti-piranti yang dibutuhkan zaman. Hasilnya, hari ini kita masih bisa menikmati produk-produk pesantren, terutama aksi-aksi akrobatik para kyai dalam merespon dinamika masyarakat, dalam konstelasi politik nasional maupun lokal yang semakin hari menjadi semakin menarik untuk dikaji. Adalah menarik untuk melihat apakah mahasiswa, khususnya PMII akan mampu bertahan dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang. Semua tergantung pemikiran, dan keberanian untuk berubah dari mahasiswa sendiri.

Tawaran Paradigma: Proposisi, sudah dipaparkan di depan bahwa kelompok individu kritis pada zaman Orde Baru, seperti Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simanjuntak, Hariman Siregar, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain telah melakukan transformasi diri dari peran-peran middle man menjadi para profesional (pengacara, eksekutif, dokter, dan politisi). Sebagian dari mereka di kemudian hari secara kebetulan menjadi pemimpin partai sehingga kita dapat menikmati jurus-jurus, serta atraksi akrobatik dari posisi middle man menjadi elemen yang masuk dalam penyelenggaraan negara (partai politik yang kemudian memiliki fraksi di DPR dan DPRD), sebagian lagi bertransformasi menjadi elemen penyeimbang yang berada di luar trias politika (LSM, media massa, dll), atau betul-betul menjadi kelompok profesional (kelompok profesi). Terlihat bahwa untuk melakukan transformasi ini, ada kata kunci yang sama yang harus dimiliki, yakni ’menjadi profesional’. Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan proposisi yang bisa difungsikan sebagai tawaran paradigma baru bagi PMII.  Proposisi:

PMII akan segera menjadi fosil gerakan mahasiswa, karena tidak mampu lagi mempertahankan elan vitalnya di masyarakat, bila:
1. PMII masih terjebak dalam pandangan bahwa PMII tetap merupakan kelompok middle man yang semata-mata mengandalkan moral force sebagai basis gerakannya;
2. PMII tidak melakukan perubahan mendasar dalam kurikulumnya sedemikian rupa sehingga tetap memperkuat kualitas ketauhidan kadernya, dan kurikulum yang mampu mengantarkan kader-kadernya untuk berkiprah secara profesional, baik di dalam lingkaran penyelenggaraan negara, maupun di luar lingkaran.

Artinya, melalui proposisi ini ada satu implikasi praktis yang harus segera dilakukan oleh PMII, yakni segera mengubah pandangan tentang diri, dan kadernya dari kungkungan perasaan sebagai middle man menjadi lembaga persemaian/pengkaderan bagi calon-calon profesional tanpa harus meninggalkan identitas. Dengan perubahan ini maka PMII akan mampu tertulis (tuktab) dan terbaca (tunthoq) dimanapun ia berposisi: sebuah posisi yang sebangun dengan hamzah qatha’ dalam kaidah bahasa Arab. Di satu sisi, ini semua tidak menyalahi tujuan PMII, yakni menjadi pribadi muslim yang bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab (profesional) dalam mengamalkan ilmu-ilmunya. di sisi lain, perubahan paradigma ini menuntut PMII untuk segera mendesain kurikulum yang mampu mengarahkan tercapainya visi ini.

Sebagai kesimpulan, rumusan paradigma yang dapat penulis tawarkan tentang siapa dan bagaimana mahasiswa dan bagaimana seharusnya PMII memperlakukan mahasiswa ialah:

“Mahasiswa ialah Calon Profesional, dan Calon Pemimpin” Terkait hal ini, PMII harus membangun paradigma baru:

“PMII ialah Lembaga Perkaderan Calon Profesional Bertauhid, dan Calon Pemimpin Karismatik” Tema gerakan yang diusung ialah:

”Konstruktif-Transformatif”

Tentang bagaimana implementasi paradigma ini dalam bentuk strategi dan pola perkaderannya, biarlah untuk sementara waktu penulis menunggu masukan dari Sahabat-Sahabat sekalian. Paling tidak, kita telah memiliki subject matter atau sesuatu untuk dibahas dalam kurun waktu sementara ini. Mudah-mudahan dapat kita tuntaskan agenda-agenda dalam roadmap terkait penentuan identitas, pilihan paradigma, strategi dan pola pengkaderan, kurikulum dan silabus, serta plotting materi. Masih panjang memang !

Wallahu a’lam bi al-shawab.
Continue reading Sejarah Perkembangan PMII