Strategi Pengembangan PMII

Info Rayon Sakera - Anggitan awal, Mencermati dan mengamati sebuah gerakan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), berarti mengadakan sebuah diskusi panjang yang didalamnya terdapat sekian kelonggaran ruang untuk secara serius mendialektikan tema-tema pembicaraan itu kedalam agenda yang lebih spesifik dan runtut.Hal ini diperlukan karena pada pokok pembicaraan itu seringkali membuang habis energi tanpa adanya perumusan yang dapat didiskusikan secara terus menerus dan mendasar.Bahwa kondisi kultur seperti ini diperlukan perubahan sehingga budaya dialog masih menjadi media yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya PMII.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau lebih popular disebut PMII adalah organisasi kemahasiswaan ekstra Universitas yang lahir pada tanggal 17 April 1960 di kota Surabaya,Jawa Timur.Ia adalah sosok gerakan mahasiswa yang terbit dari kehendak sejarah dan sekaligus kehadirannya untuk (membuat) sejarah ditengah kehidupan langgam bangsa yang sedang berlangsung.Proses kelahiran PMII juga tidak dapat dipisahkan dari kelompok muda yang mewakili komunitas masyarakat NU yang lebih bercorak agraris,pedesaan dan secara ekonomi,sosial politik termarginal.Anak-anak muda ini nampaknya sadar bahwa posisi demikian bila dibiarkan selain membawa dampak yang kurang bagus bagi pengembangan dan kemajuannya,juga mainstream yang sedang berjalan tidak menempatkannya dalam posisi keseimbangan dengan kekuatan-kekuatan lain yang terkesan di 'anak emaskan' oleh tatanan system yang tengah berjalan (Tahun 1960 an).

Dengan tidak menegasikan dari proses kelahirannya bahwa PMII adalah lahir dari kultur NU tadi,PMII senantiasa terus bergeliat bersama dinamika bangsa yang terus bergulir dari satu jaman kejaman berikutnya.Artinya PMII yang merupakan sintesa dari variabel keislaman,kemahasiswaan,dan keindonesiaan mencoba menjawab persoalan bangsa sebagai titik focus garapan utamanya sebab sublimasi nilai-nilai dasar yang menjadi acuan perjuangan PMII (Ideologi Gerakan PMII) tersebut,senantiasa diorientasikan kepada kepentingan kehidupan bangsa sebagai wujud pengabdian tertingginya.Disinilah kita kemudian dapat melihat sebuah kerangka dasar gerakan PMII yang akan diterjemahkan secara konsisten dan terus menerus.

Namun demikian,proses perjalanan PMII tetap dengan warna zaman yang menjadi pembalutnya.Kita dapat melihat perbedaan itu sangat jelas dalam periodisasi gerakan PMII dari masa kemasa.Perbedaan itu tidak saja dipengaruhi oleh gaya atau style gerakan oleh person-person yang menjadi motor penggeraknya,tetapi lebih ditentukan oleh konstelasi perpolitikan nasional yang tengah berlangsung. Dengan mencermati hal tersebut maka akan tercipta pada sebuah gambaran dan asumsi bahwa tingkat keterlibatan PMII dengan persoalan kebangsaan sungguh sangat kental.

Kekentalan gerakan PMII dengan persoalan bangsa yang dimaksud dapat diamati lewat gerakan PMII dalam tataran aplikasinya,semisal konsennya PMII dengan nasib rakyat kecil,penegakan kebenaran,keadilan dan kejujuran,perawatan moralitas bangsa,penguatan demokrasi,HAM dan lain sebagainya.Di luar itu semisal urusan-urusan yang bersifat paktis politis adalah komplementer, itupun dalam batas-batas tertentu dan sangat kondisional.Dengan kata lain,wujud konkrit dari strategi politik PMII adalah upaya merebut wilayah-wilayah garapan yang secara riil bersinggungan secara langsung dengan persoalan masyarakat,karena disinilah kemudian PMII sekaligus dapat dapat melakukan pendidikan politik yang efektif bagi rakyat.Yaitu model gerakan yang melibatkan seluruh kekuatan infrastruktur bersama rakyat melakukan proses pemberdayaan dan penyadaran terhadap posisi sebagai warga Negara dari sebuah komunitas bangsa.

Hal yang paling mendasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dalam kapasitas intelektual yang memadai. Sebab, tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik gerakan. Apalagi, asumsi gerakan adalah berawal dari konteks yang bernama pendidikan. Muh. Hanif dan Zaini Rahman (2000) mengutip Ben Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat yang paling strategis bagi PMII adalah mentransformasikan pendidikan kehidupan intelektual sebagai investasi sosial, politik, dan kebudayaan.  Dalam hal ini adanya semacam sumbangsih terhadap realita dari intektualitas organisasi.

Dalam konteks inilah, semangat liberasi (pembebasan) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII menjadi sebuah rujukan yang signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (Negara-MediaPartai), maupun otoritas sosial (agama/pendidikan) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan demi melanjutkan amanat kemanusiaan sesuai dengan mandat yang diperoleh dari Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP).

Sejalan dengan semangat liberasi dan Indenpendensi di atas itulah, maka PMII juga harus berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni Negara, ideologi, pasar, dan Agama harus dihadapi dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan kekuasaan.

Pada diskusi ini, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat pergerakan untuk perlawanan. Kalau kita jeli melakukan pembacaan situasi global, nasional dan lokal, maka dasar pergerakan ini jelas akan lebih tajam. Maka perbincangan kemudian akan kita dekatkan dengan “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada di dalamnya yang akhirnya dapat kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.

Pengertian Strategi dan Taktik  
Strategi berasal dari kata yunani "Strateges" yang berarti "Pemimpin Tentara".Jadi kata strategi asli berarti kemahiran memimpin tentara,demikian halnya dapat diartikan sebagai the art of the general.Antoni Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Van Clausewitz (1780-1831) yang merintis dan memulai mempelajari strategi secara ilmiah. Beberapa pengertian strategi :
1. Jomini mengatakan strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi.
2. Clausewitz mengatakan strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan perang.
3. Lidle hart,seorang inggris yang hidup di Abad 20 setelah mempelajari sejarah secara global mengatakan strategi adalah seni untuk mendistribusikan dan menggunakan sarana militer untuk mencapai tujuan politik.Strategi merupakan seni,olehkarena itu penglihatan dan pengertiannya memerlukan intuisi.
4. Strategi juga merupakan seni sekaligus pengetahuan.
5. Dalam arti sederhana strategi pada dasarnya merupakan suatu kerangka rencana dan tindakan yang disusun dan disisipkan dalam suatu rangkaian pentahapan masingmasing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan-tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan keseluruhan proses.

Adapun Taktik dalam arti yang paling sederhana adalah serangkaian cara untuk melaksanakan siasat. Ia merupakan bagian integral dari strategi.

Setrategi adalah sebuah perencanaan untuk menetepkan dimulainya sebuah gersakan sampai terwujudnya cita-cita gerakan. Sementara taktik adalah suatu rancangan gerakan yang bersifat spesifik sebagai bagian dari keseluruhan setrategi gerakan yang dijalankan. Secara mudah bisa dikatakan setrategi adalah seluruh rencana gerakan sedangkan taktik adalah langkah kongkrit yang bisa berubah sewaktu-waktu sesuai perkembangan kondisi sosial yang ada.

Pembacaan Terhadap Situasi Penindasan dan Situasi Perlawanan
Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak lepas dari era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Deepak Nyaar, ilmuwan yang mengaitkan globalisasi dengan situasi penindasan menyatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua adalah (Deepak Nyaar: 1998). Pertama, Fase Imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870-1813 yang memakai payung ideologi Kapitalisme Klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith, “leizzis faire” (persaingan bebas tanpa batas). Kedua, fase ini terjadi pada dekade 1870-1970-an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat dengan semangat yang hampir sama dan bernaung di bawah bendera Neo-liberialisme.

Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001) menyatakan bahwa di bawah proyek globalisasi yang diusung Barat sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam pengertian yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas “Negaranegara Dunia Ketiga”.

Dengan berpijak pada tiga doktrin, yaitu Liberalisasi (kebebasan dalam arti ekonomi), Diregulasi (tidak adanya Negara yang mengatur lalu lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat), serta Privatisasi (swastanisasi, BUMN harus dijual kepada pihak swasta, Pemodal, atau Investor), Neo-liberialisme berjalan melewati setiap Negara yang sudah tidak berdaya karena lilitan Hutang Luar Negeri (HLN). Dengan tekanan HLN inilah para Negara Door-Kapitalis (Uni Eropa, USA, dan Jepang) membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi “Negara Dunia Ketiga” untuk meliberalisasi kehidupan ekonominya. Dalam konteks perekonomian, pasar semisal, kita mengenal pasar berkelas Positivistik (harga pas) yang bertujuan meruntuhkan pasar tradisional (tawar-menawar).

Lembaga-lembaga seperti International Monetary Found (IMF), Paris Club, CGI, dan WTO menjadi sangat efektiv dalam melakukan kerja-kerja Imperialisme dengan baju Globalisasi. Setelah (peraturan bea dan cukai dan lain-lain) perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan, perusahaan-perusahaan yang dimiliki Negara Kapitalis yang sering disebut dengan Trans National Coorporation (TNC) dan Multi National Coorporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negeri ini yang bertujuan mendominasi dan penghisaban. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan disedot habis oleh investor asing dan akhirnya kita menjadi terasing di Negeri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di Negeri sendiri dengan upah yang sangat murah.

Dalam relasi penindasan demikian, masyarakat kita sebagian besar berada di posisi yang semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjual gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi yang ada di luar. Hal yang sama kita jumpai pada hal komoditas gula, buah-buahan dan barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu Negara sudah tidak berdaya lagi karena tekanan dari lembaga donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat. Kenaikan BBM, listrik, dan telepon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi pembayaran hutang. Demikian dengan biaya pendidikan, juga bisa dilihat dari perspektif ini. UU no. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari gelagat Negara yang ingin melepas tanggung jawabnya atas subsidi pendidikan, sehingga membuka peluang terjadinya ”Kapitalisasi Pendidikan”. Persoalan bertambah runyam ketika pondasi perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang semakain kehilangan lapangan pekerjaan.

Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus Globalisasi, kita malah secara politik semakin sibuk dengan kepentingan pertarungan kelompok-kelompok elit yang sebagian besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik pada level Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Pengusaha, sampai pada Partai Politik yang mulai melibatkan kekuatan Media, akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang semakin terpecah belah. Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan sebagai imbas dari amburadulnya Budaya Politik di level Negara. Di sisi Budaya kita digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin ke-Barat-baratan (westernisasi) dan bisa meniru mereka pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya (identifikasi). Kita tidak sadar sedang didorong untuk menjadi konsumen pasar yang dibuka oleh orang Barat. Watak ini dalam bangsa kita sering disebut dengan watak Inlander (Hasyim Wahid: 2001).

Dampak lain dari Globalisasi, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang akhirnya melahirkan gerakan-gerakan Fundamental. Islam adalah Agama yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11 September (Black Tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot, dan tragedi pengeboman yang lain semakin meyakinkan asumsi bahwa fundamentalisme Agama sebagai sebuah Resistensi Globalisasi yang sangat West-biased (Bias Barat); atau bisa dikatakan Fundamentalisme Pasar sedang berhadapan dengan Fundamentalisme Agama (Islam).

Walaupun Fundamentalisme Islam melawan Kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar sosial keagamaannya, pemahaman tekstual (skriptualistik) terhadap ajaran dan doktrin Agama sangat kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual semakin sempit, dan ajaran akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam  kesadaran tafsir mereka. Sehingga gerakan Fundamentalis Islam cendrung gampang mengkafirkan (takfir) dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat dengannya dan menggolongkannya sebagai ”the others”.

Dari sekian pembacaan-pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat strategi perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus diperbuat, jangan sampai kita selaku yang sadar gerakan justru menjadi buta dalam melihat.

Masyarakat terbagi dalam Tiga Lokus (Eman Hermawan: 2001), yaitu: Civil Society (masyarakat sipil), Political Society (masyarakat politik), dan Economical Society (masyarakat ekonomi). Dalam kerangka ini, Strategi dan Taktik Gerakan PMII akan dijelaskan dengan  tetap memakai kerangka ”liberasi dan independensi”, dan dengan menggunakan Paradigma Kritis Transformatif.

Rumusan Strategi Gerakan berdasarkan pembagian Lokus Masyarakat kiranya dapat disederhanakan dalam tabel berikut:

No
1. Lokus Masyarakat:
Civil  Society (masyarakat sipil, Ormas, LSM, Germa, dan kelompok masyarakat)
Strategi Gerakan:
a. Menciptakan budaya alternatif
- Mempertahankan kesadaran bahwa kita memiliki budaya.
- Membentuk kelompok-kelompok studi kebudayaan. 
b. Menciptakan kesadaran lokalitas (nasionalisme)
- Pendidikan politis-idealis untuk rakyat.
- Advokasi, pendampingan, dan pengorganisiran rakyat.
- Advokasi kebijakan.
c. Menciptakan kemandirian ekonomi
- Membangun ruang-ruang ekonomi kerakyatan (koperasi dll.).
- Pengorganisasian ruang-ruang ekonomi rakyat anti positivistik kapitalistik.
d. Mewujudkan pendidikan untuk rakyat (kurikulum berbasis kerakyatan, sekolah geratis, KHP (Kritis Humanis dan Profesional).
- Menciptakan sekolah-sekolah alternatif.
- Pressure kebijakan pendidikan
2. Political Society  (masyarakat politik, Negara, dan partai politik
Negara: 
a. Penguatan posisi Negara terhadap pasar dan negara kapitalis
- Advokasi kebijakan.
b. Pergerakan supremasi hukum
- Advokasi kebijakan.
Partai Politik:
a. Membangun ruang bargaining rakyat dengan partai politiik
- Kotrak sosial/politik.
3. Economic Society (masyarakat ekonomi: pengusaha pribumi, investor, spekulan, MNC/TNC)
a. Menciptakan keseimbangan pasaar Negaranegara civil society
- Kontrak sosial/politik.
b. Membangun kantong-kantong kontrol rakyat terhadap pasar dan kebijakan ekonomi.
- Menciptakan kelompok-klompok studi ekonomi dan kebijakan pasar.
- Menciptakan serikat-serikat buruh

Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerjakerja taktis. Antonio Gramsci (1956) membagi tiga wilayah gerakan atau perang (war), yaitu: War of Position (perang posisi), War of Opinion (perang opini), dan War of Movement (perang gerakan). Ketiga wilayah gerakan ini menjadi landasan awal untuk membingkai Strategi Gerakan PMII saat ini.

Dari uraian Gramsci di atas, konteks pergerakan harus memenuhi Tiga Ruang yaitu: ruang Penegasan Jati Diri Organ atau posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang Dialektika Pemikiran dan Gagasan sebagai dasar rasionalitas atau posisi yang dipilih, dan Ruang Praktis yang menjadi indikator perubahan dengan dorongan konkrit baik di level kader maupun masyarakat.

Perencanaan Strategis
Perencaan strategis adalah sebuah upaya yang didisiplinkan untuk membuat sebuah keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan organisasi dan mengapa organisasi melakukan hal itu.

Perencanaan strategis awal penggunaannya dipelopori oleh militer dalam menyusun strategi dan taktik perang, pertahanan dan keamanan dan juga di gunakan di sektor pemerintahan lainnya. Kemudian diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar dalam menganalisa dan merencanakan proses produksi dan pemasararan produk, terakhir organisasi sosial dan kemasyarakatan juga menggunakannya guna mengefektifkan kerja-kerja organisasi.

  • Syarat dari perencanaan strategis :
1. Pengumpulan informasi secara luas.
2. Eksplorasi alterantif dari sumberdaya dan pemecahan masalah
3. Implikasi dari kebijakan yang diterpakan

Perencanaan strategis memfokuskan dirinya pada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu atau bisa juga disebut sebagai perencanaan untuk mempolitisasi keadaan. Perencaan strategis juga memperkirakan kecenderungan baru, diskontinuitas dan pelbagai kejutan yang terjadi (Ansoff, 1980).

  • Manfaat perencanaan strategis :
1. Cara berfikir yang strategis untuk mengembangkan strategi yang efektif
2. Menciptakan prioritas kerja dan memperjelas arah masa depan
3. Memecahkan beberapa masalah utama organisasi
4. Menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif
5. Mengembangkan landasan yang kokoh dan luas dalam membuat sebuah keputusan
6. Dll

  • Langkah-langkah dalam membuat perencanaan strategis:
1. Memrakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis
2. Mengidentifikasi mandat organisasi
3. Memperjelas misi-misi dan visi organisasi ke depan 
4. Analisa stake holder organisasi
5. Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman
6. Menilai lingkungan internal : kekuatan dan kelemahan
7. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi
8. Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu

  • Cara mengenali isu strategis:
1. Pendekatan langsung (direct approach) pendekatan yang dilakukan dengan melakukan ulasan terhadap mandat, visi misi dan SWOT, pendekatan ini merupakan pendekatan terbaik ketika tidak ada kesepakatan akan sasaran (goal) yang hendak dicapai.
2. Pendekatan sasaran (goal approach) pendekatan yang menetapkan bahwa organisasi harus menetapkan sasaran tertentu yang akan memandu proses perencanaan strategis untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Pendekatan visi keberhasilan (vision of success) Pendekatan  yang mengembangkan gambar yang ideal sebagai visi organisasi dimana visi organisasi harus dinamis dalam mengikuti perkembangan dan menjawab tantangan yang ada sehingga dimungkinkan perubahan drastis terhadap strategi yang digunakan.

Alur Dasar Perencanaan Strategis
Refleksi:
(Perencanaan dan koortdinasi)
1. Memahami Visi, Misi, dan tujuan dasar kelembagaan
2. Menentukan Prinsip dasar

Aksi:
Kerja Gerakan
Evaluasi  (Fungsi Kontrol )
Mengevaluasi Visi, Misi dan Tujuan
1. Analisa Masalah
- Memahami masalah
- Identivikasi masaalah
- Klasifikasi makalah
2. Analisa Kebutuhan
- Menentukan Visi, Misi, dan tujuan dasar
3. Analisa Kebutuhan
- Menentukan sikap
- Menentukan pilihan
4. Menentukan Strategi Dan kebutuhan  Aksi