Ada beragam alasan yang dikemukakan oleh mereka; faktor perekonomian yang macet gara-gara wabah ini, atau bahkan kepercayaan-kepercayaan yang masih kolot tentang dunia medis sehingga mengaitkan hal-hal mistis dan lain sebagainya untuk menjustifikasi “kepentingan” mereka, atau bahkan alasan-alasan sepele untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan ma’ruf (kebaikan) seperti bekerja ke sawah, hoaks untuk kepentingan perekonomian dan lainnya. Walaupun mayoritas masyarakat Madura masih percaya dengan hal-hal mistis seperti dengan membaca doa tolak bala, istigasah, sholawatan, bahkan hal-hal positif lainnya.
Dengan kondisi ini, adagium yang sering didengungkan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berupaya “dzikir, pikir, amal sholeh” mengalami dilema yang begitu kentara. Untuk meyakinkan masyarakat dalam situasi “genting” ditengah wabah ini, mengajak masyarakat Madura berpikir rasional sudah tidak mungkin dilakukan. Kondisi masyarakat pinggiran seperti yang terjadi di Madura membingunkan untuk diberikan pemahaman oleh kaum pergerakan dengan status “mahasiswa” yang disandangnya. Maka, satu-satunya gerakan yang bisa dilakukan adalah dengan membuat konten-konten media yang berisi wejangan dakwah kreatif-inovatif agar mereka waspada dengan wabah ini. Itu bisa dilakukan dengan video, meme, atau bahkan tulisan-tulisan pencerahan lainnya.
PMII sebagai organisasi yang bergerak dan membela nasib kaum pinggiran dan tertindas, harus bisa memberikan edukasi terhadap masyarakat agar tetap mematuhi segala bentuk protokol yang sudah dianjurkan oleh pemerintah. Dalam situasi wabah ini, mahasiswa pergerakan berada dalam kondisi “mandul” dan “tidak lagi bertaring”. Bagaimana tidak, jika segala bentuk permasalahan kemanusiaan yang biasanya dipecahkan dengan konsolidasi, silaturrahmi, dengan secangkir kopi hanya bisa dilakukan melalui komunikasi. Itupun dalam bentuk online. Terkecuali bagi mereka yang mempunyai kreatifitas di rumahnya masing-masing dengan senantiasa menebarkan kebaikan bagi dirinya dan tidak abai pada lingkungannya. Karena mengajak masyarakat berpikir rasional sudah tidak mungkin, maka dzikir dan amal sholeh menjadi titiktumpu dalam gerakan PMII di tengah pandemi ini.
Sekali lagi, taruhan pergerakan di tengah pandemi terletak pada ide-ide progresif; memanfaatkan skill masing-masing untuk selalu waspada terhadap wabah.
Jika karakter gerakan kita selalu tajam ke atas (elite pemerintahan) dan dengan segala kebijakannya yang seringkali “timpang”, barangkali hal tersebut sudah tidak mungkin dilakukan, harus dijeda sejenak dengan menghela nafas menghadapi wabah ini dan berpikir ulang kondisi paradigma dan nasib masyarakat terhadap wabah ini. Kaum pergerakan, terutama mereka yang ada diperkotaan sudah pulang dan baru singgah di desa-desa masing-masing. Sebagai warga pergerakan, tentu saja tidak boleh “alergi“ dengan situasi masyarakat desa yang berparadigma picik terhadap wabah ini.
Mereka harus tetap diperhatikan, diberikan pemahaman, dan tetap menganjurkan berusaha dan berdoa untuk menangkal wabah ini. Karenanya, jangan jadikan wabah ini sebagai musuh bebuyutan yang berharap bertemu langsung dengan pandemi tersebut. Akan tetapi, jadikanlah pandemi sebagai langkah dalam mengaktualisasikan nilai-nilai dzikir dan amal sholeh ditengah-tengah masyarakat pinggiran. Kaum pergerakan harus menjadi sufisme modern, yang tidak hanya memikirkan dirinya sendiri di rumah, tetapi juga bergerak menjadi “tangan kanan pemerintah” untuk kemanusiaan (humanism).
Maka, orientasi gerakan PMII harus tajam ke bawah ditengah wabah ini. Artinya, edukasi tentang pandemi yang sedang melanda ini hendaknya bisa digerakkan semaksimal mungkin. Sebagai aktivis agamis-nasionalis, kita tentu tidak boleh abai terhadap kebiasaan dan tradisi dalam melantunkan doa-doa yang sudah diwariskan oleh para muassis NU dan kiai pesantren. Sehingga sanad keilmuan dan sakralitas gerakan kiai menjadi dakwah yang bisa hidup dalam hati nurani masyarakat.
Tidak hanya itu, gerakan untuk beramal sholeh juga senantiasa menjadi prioritas kaum pergerakan. Melakukan pemberdayaan dengan bagi-bagi masker dan kegiatan-kegiatan lainnya untuk menangani wabah ini menjadi jalan yang harus ditempuh serta memberikan perhatian kepada masyarakat untuk tidak panik dalam menghadapi wabah ini. Dalam situasi darurat ini, kaum pergerakan harus mengambil keringanan di antara dua mudarat. Di satu sisi membantu pemerintah dan pihak-pihak medis. Di sisi lain, memberikan doktrin kepada masyarakat pinggiran untuk bijaksana menghadapi wabah ini. Gerakan ganda (double) ini menjadi penyempurna “iman kaum pergerakan” ditengah pandemi yang sedang merajalela.
Oleh sebab itu, kaum pergerakan dalam situasi ini, tidak boleh “alergi”; tidak mau membantu pemerintah atau bahkan mengabaikan masyarakat desa dengan segenap paradigma dan hanya memikirkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Inilah resiko kaum pergerakan, terutama bagi mereka yang telah lama berkutat dengan kehidupan masyarakat kota. Menghadapi paradigma masyarakat desa akan kelimpungan juga. Konklusinya, sebagai aktifis yang berbasis keseimbangan hubungan antara manusia dan alam, jiwa “alergi” hendaknya dipikirkan kembali agar PMII bergerak secara progresif, tidak hanya sebatas pragmatis. Sekian. Waallahu a’lam.
________
Penulis : Abdul Warits
Publisher : Tim LSO
*Pengurus Komisariat PMII Guluk-Guluk Sumenep Madura
Masa juang 2019-2020 bidang Informasi dan Komunikasi.
Ketua Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Fajar Institut Ilmu Keislaman Annuqayah. J