Analisa Media

Info Rayon Sakera - Pengantar Analisa Media, kajian komunikasi/kajian media dapat ditelusuri: (Littlejohn, 2002:4). Pertama, sejak zaman Yunani yang berbasis pada retorika (logika dan bahasa) yang berlanjut dengan kajian sejarah dan kultural, dan yang terakhir dengan perspektif kritis (termasuk ideologis) aliran pemikiran Birmingham di Inggris dan Frankfurt di Jerman. Kedua, dari akar Amerika Serikat yang berbasis empirisisme dengan aliran pemikiran pragmatisme.


Secara sederhana, pendekatan dalam kajian media memperkenalkan dua dimensi, yaitu pragmatis sosial dan kultural. Littlejohn menggunkan istilah “scientific” dan “humanistic” dimana masing-masing merupakan sebutan populer dari dimensi pragmatis sosial dan kultural. Pada dasarnya perbedaan pendekatan kajian komunikasi disebabkan karena masing-masing pengkaji dari kajian akademik ini mendefinisikan subyek kajiannya secara berbeda. Pendekatan pragmatis sosial dan kultural melahirkan dua aliran dalam kajian Ilmu Komunikasi yang bertolak dari perbedaan dimensi yang menjadi perhatian dalam kajian.

Aliran pertama melihat fenomena komunikasi sebagai pemyampaian pesan (transmission of message) dalam konteks interaksi sosial, sedangkan aliran kedua menyebut komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna (product and excange of meaning) dalam konteks kultural.

Menurut Rogers, secara garis besar media dapat digolongkan secara fisik ke dalam 3 kelompok besar, yaitu : (Siregar, 2008: 23)
1. Media sosial,
2. Media massa
3. Media interaktif

Dengan cara lain, fenomena komunikasi dapat dilihat sebagai instrument dalam hubungan sosial yang diwujudkan dalam format verbal dan nonverbal atau format visual dan nonvisual. Masing-masing format ini membawa tuntutan teknis yang berkonteks pada sifat bawaan media yang digunakan.

Media sosial memiliki sifat bawaan yang bertumpu pada faktor fisik manusia, media massa dengan landasan faktor perangkat teknologi mekanis dan elektronis, dan media interaktif dengan tumpuan pada perangkat teknologi telekomunikasi dan komputer multimedia. Masing-masing media hadir dengan bawaannya dan bermula dari sinilah kaidah dalam komunikasi  disesuaikan  dengan faktor fisik manusia dan teknologi sebagai perpanjangan fisik manusia.

Dorongan untuk menyelenggarakan studi media perlu dimiliki dalam pengembangan disiplin Ilmu Komunikasi. Untuk itu, perlu ditumbuhkan kesadaran tentang titik pijak dalam melakukan kajian proses mediasi yang berada dalam berbagai konteks.

Pokok Pertimbangan untuk Analisa Media
Pada dasarnya, ranah keilmuan berupa konsep teoritis, baik teori pengetahuan sosial maupun aplikatif. Kajian Media pada dasarnya merupakan pengembangan konsep teoritis ini sehingga dapat mengenali karakter media (teori pengetahuan sosial) atau pun pola teknis dalam media (teori aplikatif).

Kajian konvensional atau –sekarang boleh disebut- tradisional bertumpu pada formula Lasswel, yang diperkenalkan pada tahun 1948, yang merumuskan obyek kajian Ilmu Komunikasi sebagai berikut: Who (Siapa) Says What  (Bicara tentang apa) In Which Channel (Menggunakan saluran apa) To Whom (Kepada siapa) With What Effect? (Laswell, 1971).

Selain itu, fenomena komunikasi sering dikutip dari buku teks klasik, yaitu model komunikasi yang bersifat liniar: Source – Message – Channel – Reciever.

Pada dasarnya kajian yang dimaksud untuk mengetahui tindakan dalam proses komunikasi bersifat linier dan dititikberatkan pada efektivitas pesan dengan melihat keempat komponen sebagai satuan-satuan kajian.

Analisis Isi
Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi.

Analisis isi dapat digunakan untuk menganalisis semua bentuk komunikasi. Baik surat kabar, berita radio, iklan televisi maupun semua bahan-bahan dokumentasi yang lain. Hampir semua disiplin ilmu sosial dapat menggunakan analisis isi sebagai teknik/metode penelitian. Holsti menunjukkan tiga bidang yang banyak mempergunakan analisis isi, yang besarnya hampir 75% dari keseluruhan studi empirik, yaitu penelitian sosioantropologis (27,7 persen), komunikasi umum (25,9%), dan ilmu politik (21,5%). Sejalan dengan kemajuan teknologi, selain secara manual kini telah tersedia komputer untuk mempermudah proses penelitian analisis isi, yang dapat terdiri atas 2 macam, yaitu perhitungan kata-kata, dan “kamus” yang dapat ditandai yang sering disebut General Inquirer Program.
1. Analisis isi tidak dapat diberlakukan pada semua penelitian sosial. Analisis isi dapat dipergunakan jika memiliki syarat berikut. Data yang tersedia sebagian besar terdiri dari bahanbahan yang terdokumentasi (buku, surat kabar, pita rekaman, naskah/manuscript).
2. Ada keterangan pelengkap atau kerangka teori tertentu yang menerangkan tentang dan sebagai metode pendekatan terhadap data tersebut.
3. Peneliti memiliki kemampuan teknis untuk mengolah bahanbahan/data-data yang dikumpulkannya karena sebagian dokumentasi tersebut bersifat sangat khas/spesifik.

Desain Analisis Isi
Setidaknya dapat diidentifikasi tiga jenis penelitian komunikasi yang menggunakan analisis isi. Ketiganya dapat dijelaskan dengan teori 5 unsur komunikasi yang dibuat oleh Harold D. Lasswell, yaitu who, says what, to whom, in what channel, with what effect. Ketiga jenis penelitian tersebut dapat memuat satu atau lebih unsur “pertanyaan teoretik” Lasswell tersebut. Pertama, bersifat deskriptif, yaitu deskripsi isi-isi komunikasi. Dalam praktiknya, hal ini mudah dilakukan dengan cara melakukan perbandingan. Perbandingan tersebut dapat meliputi hal-hal berikut ini.
1. Perbandingan pesan (message) dokumen yang sama pada waktu yang berbeda. Dalam hal ini analisis dapat membuat kesimpulan mengenai kecenderungan isi komunikasi.
2. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama/tunggal dalam situasi-situasi yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang pengaruh situasi terhadap isi komunikasi.
3. Perbandingan pesan (message) dari sumber yang sama terhadap penerima yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang pengaruh ciri-ciri audience terhadap isi dan gaya komunikasi.
4. Analisis antar-message, yaitu perbandingan isi komunikasi pada waktu, situasi atau audience yang berbeda. Dalam hal ini, studi tentang hubungan dua variabel dalam satu atau sekumpulan dokumen (sering disebut kontingensi (contingency).
5. Pengujian hipotesis mengenai perbandingan message dari dua sumber yang berbeda, yaitu perbedaan antarkomunikator. Kedua, penelitian mengenai penyebab message yang berupa pengaruh dua message yang dihasilkan dua sumber (A dan B) terhadap variabel perilaku sehingga menimbulkan nilai, sikap, motif, dan masalah pada sumber B. Ketiga, penelitian mengenai efek message A terhadap penerima B. Pertanyaan yang diajukan adalah apakah efek atau akibat dari proses komunikasi yang telah berlangsung terhadap penerima (with what effect)?
Continue reading Analisa Media

Manajemen dan Perilaku Organisasi

Info Rayon Sakera -  Individu, Kelompok, dan Organisasi, teori atau ilmu perilaku organisasi (organization behavior pada hakekatnya mendasarkan kajiannya pada ilmu perilaku itu sendiri (akar ilmu psikologi), yang dikembangkan dengan pusat perhatiannya pada tingkah laku manusia dalam organisasi. Dengan demikian, kerangka dasar teori perilaku organisasi ini didukung oleh dua komponen pokok, yakni individu-individu yang berperilaku dan organisasi formal sebagai wadah dari perilaku tersebut.

Jadi, perilaku organisasi adalah suatu studi yang menyangkut aspekaspek tingkah laku manusia dalam organisasi atau suatu kelompok tertentu. Aspek pertama meliputi pengaruh organisasi terhadap manusia, sedang aspek kedua pengaruh manusia terhadap organisasi. Pengertian ini sesuai dengan rumusan Kelly dalam bukunya Organizational Behavior yang menjelaskan bahwa perilaku organisasi di dalamnya terdapat interaksi dan hubungan antara organisasi di satu pihak dan perilaku individu di lain pihak. Kesemuanya ini memiliki tujuan praktis yaitu untuk mengarahkan perilaku manusia itu kepada upaya-upaya pencapaian tujuan.

Ruang Lingkup Perilaku Organisasi

Perilaku Organisasi, sesungguhnya terbentuk dari perilakuperilaku individu yang terdapat dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu – sebagaimana telah disinggung diatas – pengkajian masalah perilaku organisasi jelas akan meliputi atau menyangkut pembahasan mengenai perilaku individu. Dengan demikian dapat dilihat bahwa ruang lingkup kajian ilmu perilaku organisasi hanya terbatas pada dimensi internal dari suatu organisasi.

Dalam kaitan ini, aspek-aspek yang menjadi unsur-unsur, komponen atau sub sistem dari ilmu perilaku organisasi antara lain adalah : motivasi, kepemimpinan, stres dan atau konflik, pembinaan karir, masalah sistem imbalan, hubungan komunikasi, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan, produktivitas dan atau kinerja (performance), kepuasan, pembinaan dan pengembangan organisasi (organizational development), dan sebagainya.

Sementara itu aspek-aspek yang merupakan dimensi eksternal organisasi seperti faktor ekonomi, politik, sosial, perkembangan teknologi, kependudukan dan sebagainya, menjadi kajian dari ilmu manajemen strategik (strategic management). Jadi, meskipun faktor eksternal ini juga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberhasilan organisasi dalam mewujudkan visi dan misinya, namun tidak akan dibahas dalam konteks ilmu perilaku organisasi.

Meskipun unsur-unsur, komponen atau sub sistem yang akan dibahas bisa jadi telah banyak dipelajari pada disiplin ilmu yang lain, namun materi Perilaku Organisasi akan mencoba menjawab, mengapa berbagai unsur atau komponen tadi dapat membentuk karakter, sikap, atau perilaku individu dalam kapasitasnya sebagai anggota suatu organisasi. Oleh karena itu, bobot atau muatan materinya akan diusahakan agar memiliki sisi empiris yang cukup memadai. Untuk kepentingan ini, maka pada setiap session pembahasan akan diupayakan untuk dilengkapi dengan kasus-kasus yang relevan sebagai instrumen untuk lebih memudahkan dalam memahami masalah perilaku organisasi.

Secara skematis, ruang lingkup kajian perilaku organisasi dalam rangka mencapai tujuan organisasi, serta faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya, dapat dilihat pada Gambar dibawah ini.

Dengan adanya interaksi atau hubungan antar individu dalam organisasi, maka penelaahan terhadap perilaku organisasi haruslahdilakukan melalui pendekatan-pendekatan sumber daya manusia (supportif), pendekatan kontingensi, pendekatan produktivitas dan pendekatan sistem. Pendekatan sumber daya manusia dimaksudkan untuk membantu pegawai agar berprestasi lebih baik, menjadi orang yang lebih bertanggung jawab, dan kemudian berusaha menciptakan suasana dimana mereka dapat menyumbang sampai pada batas kemampuan yang mereka miliki, sehingga mengarah kepada peningkatan keefektifan pelaksanaan tugas. Pendekatan ini berarti juga bahwa orang yang lebih baik akan mencapai hasil yang lebih baik pula, sehingga pendekatan ini disebut pula dengan pendekatan suportif.  Sementara itu, pendekatan kontingensi mengandung pengertian bahwa adanya lingkungan yang berbeda menghendaki praktek perilaku yang berbeda pula untuk mencapai keefektifan. Disini pandangan lama yang mengatakan bahwa prinsip-prinsip manajemen bersifat universal dan perilaku dapat berlaku dalam situasi apapun, tidak dapat diterima sepenuhnya.

Disisi lain, pendekatan produktivitas dimaksudkan sebagai ukuran seberapa efisien suatu organisasi dapat menghasilkan keluaran yang diinginkan. Jadi, produktivitas yang lebih baik merupakan ukuran yang bernilai tentang seberapa baik penggunaan sumber daya dalam masyarakat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa konsep produktivitas tidak hanya diukur dalam kaitannya dengan masukan dan keluaran ekonomis, tetapi masukan manusia dan sosial juga merupakan hal yang penting. Dengan demikian,  apabila perilaku organisasi yang lebih baik dapat mempertinggi kepuasan kerja, maka akan dihasilkan keluaran manusia yang baik pula, dan pada akhirnya akan menghasilkan produktivitas pada derajat yang diinginkan.

Adapun pendekatan sistem terutama diterapkan dalam sistem sosial,  dimana di dalamnya terdapat seperangkat hubungan manusia yang rumit yang berinteraksi dalam banyak cara. Ini berarti, dalam mengambil keputusan para manaer harus mengkaji hal-hal diluar situasi langsung untuk menentukan dampaknya terhadap sistem yang lebih besar, sehingga memerlukan analisis biaya dan manfaat (cost – benefit analysis).
Continue reading Manajemen dan Perilaku Organisasi

Manajemen Opini dan Aksi

Info Rayon Sakera - Mengenai Manajemen Opini dan Aksi
1. Opini
Seperti ilmu sosial lainnya, definisi opini (pendapat) sulit untuk dirumuskan secara lengkap dan utuh. Ada berbagai definisi yang muncul, tergantung dari sisi mana kita melihatnya, Ilmu Komunikasi mendefinisikan opini sebagai pertukaran informasi yang membentuk sikap, menentukan isu dalam masyarakat dan dinyatakan secara terbuka. Opini sebagai komunikasi mengenai soal-soal tertentu yang jika dibawakan dalam bentuk atau cara tertentu kepada orang tertentu akan membawa efek tertentu pula (Bernard Berelson).

2. Opini Publik
Ilmu Psikologi mendefinisikan opini publik sebagai hasil dari sikap sekumpulan orang yang memperlihatkan reaksi yang sama terhadap rangsangan yang sama dari luar (Leonard W. Doob) Sekalipun untuk keperluan teoritik dikenal adanya tiga pendekatan diatas, dalam prakteknya opini publik tidak bisa dipahami hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Opini publik hanya terbentuk bila ada informasi yang memadai dan warga masyarakat bereaksi terhadap isu tersebut. 

Opini publik memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. dibuat berdasarkan fakta, bukan kata-kata
2. Dapat merupakan reaksi terhadap masalah tertentu, dan reaksi itu diungkapkan
3. Masalah tersebut disepakati untuk dipecahkan
4. Dapat dikombinasikan dengan kepentingan pribadi
5. Yang menjadi opini publik hanya pendapat dari mayoritas anggota masyarakat
6. Opini publik membuka kemungkinan adanya tanggapan
7. Partisipasi anggota masyarakat sebatas kepentingan mereka, terutama yang terancam.
8. Memungkinkan adanya kontra-opini.

3. Proses Pembentukan Opini Publik
Proses terbentuknya opini publik melalui beberapa tahapan yang menurut Cutlip dan Center ada empat tahap, yaitu :
a. Ada masalah yang perlu dipecahkan sehingga orang mencari alternatif pemecahan.
b. Munculnya beberapa alternatif memungkinkan terjadinya diskusi untuk memilih alternatif
c. Dalam diskusi diambil keputusan yang melahirkan kesadaran kelompok.
d. Untuk melaksanakan keputusan, disusunlah program yang memerlukan dukungan yang lebih luas.

Erikson, Lutberg dan Tedin mengemukakan adanya empat tahap terbentuknya opini publik.
1. Muncul isu yang dirasakan sangat relevan bagi kehidupan orang banyak
2. Isu tersebut relatif baru hingga memunculkan kekaburan standar penilaian atau standar ganda.
3. Ada opinion leaders (tokoh pembentuk opini) yang juga tertarik dengan isu tersebut, seperti politisi atau akademisi.
4. Mendapat perhatian pers hingga informasi dan reaksi terhadap isu tersebut diketahui khalayak.

Opini publik sudah terbentuk jika pendapat yang semula dipertentangkan sudah tidak lagi dipersoalkan. Dalam hal ini tidak berarti bahwa opini publik merupakan hasil kesepakatan mutlak atau suara mayoritas setuju, karena kepada para anggota diskusi memang sama sekali tidak dimintakan pernyataan setuju. Opini publik terbentuk jika dalam diskusi tidak ada lagi yang menentang pendapat akhir karena sudah berhasil diyakinkan atau mungkin karena argumentasi untuk menolak sudah habis.  Berdasarkan terbentuknya opini publik, kita mengenal opini publik yang murni. Opini publik murni adalah opini publik yang lahir dari reaksi masyarakat atas suatu masalah (isu). Sedangkan opini publik yang tidak murni dapat berupa :
1. Manipulated Public Opinion, yaitu opini publik yang dimanipulasikan atau dipermainkan dengan cerdik.
2. Planned Public Opinion, yaitu opini yang direncanakan.
3. Intended Public Opinion, yaitu opini yang dikehendaki.
4. Programmed Public Opinion, yaitu opini yang diprogramkan.
5. Desired Public Opinion, yaitu opini yang diinginkan.

4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Opini Publik  Opini publik dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya :
a. Pendidikan
Pendidikan, baik formal maupun non formal, banyak mempengaruhi dan membentuk persepsi seseorang. Orang berpendidikan cukup, memiliki sikap yang lebih mandiri ketimbang kelompok yang kurang berpendidikan. Yang terakhir cenderung mengikut.
b. Kondisi Sosial
Masyarakat yang terdiri dari kelompok tertutup akan memiliki pendapat yang lebih sempit daripada kelompok masyarakat terbuka. Dalam masyarakat tertutup, komunikasi dengan luar sulit dilakukan.
c. Kondisi Ekonomi
Masyarakat yang kebutuhan minimumnya terpenuhi dan masalah survive bukan lagi merupakan bahaya yang mengancam, adalah masyarakat yang tenang dan demokratis.
d. Ideologi
Ideologi adalah hasil kristalisasi nilai yang ada dalam masyarakat. Ia juga merupakan pemikiran khas suatu kelompok. Karena titik tolaknya adalah kepentingan ego, maka ideologi cenderung mengarah pada egoisme atau kelompokisme.
e. Organisasi
Dalam organisasi orang berinteraksi dengan orang lain dengan berbagai ragam kepentingan. Dalam organisasi orang dapat menyalurkan pendapat dan keinginannya. Karena dalam kelompok ini orang cenderung bersedia menyamakan pendapatnya, maka pendapat umum mudah terbentuk.
f. Media Massa
Persepsi masyarakat dapat dibentuk oleh media massa. Media massa dapat membentuk pendapat umum dengan cara pemberitaan yang sensasional dan berkesinambungan. 

Mengelola Opini untuk Menggerakkan Massa
Mengelola Opini untuk Menggerakkan Massa”menurut saya skill penting yang mesti dimiliki setiap orang sebagai sebuah keterampilan memimpin. Generasi muda sebagai mandataris perubahan dimasa depan mesti cakap dalam mengorganisir ide perubahan sebelum dilempar kepada masyarakat. Untuk itu mahasiswa berpotensi menjadi opinion maker dalam menyuarakan perubahan.

Dalam kehidupan sehari-hari, kerap kali kita terlibat dalam penggalangan dukungan untuk mencapai tujuan. Mulai dari hal yang sederhana sampai masalah yang lebih besar dan strategis. Misalnya, dengan alasan agar cepat sampai sekolah kita berusaha meyakinkan orang tua agar mau dibelikan sepeda. Mulai dari untung dan ruginya memiliki sepeda – coba kita utarakan kepada orang tua kita. Nah, segala usaha dan upaya meyakinkan kedua orang tua itu bisa dikatakan gerakan mengelola opini anggota keluarga agar tujuan untuk memiliki sepeda terpenuhi. Jadi menurut saya, pengertian pengelolaan opini bukan sebatas membuat opini lalu dikirim kemedia massa. Tapi penggalangan massa demi tujuan tertentu. Sedangkan cara dan bentuknya bisa bermacam-macam.

Pengelolaan opini sebagai sebuah gerakan setidaknya ada tiga agenda yang mesti kita kerjakan terlebih dahulu. Ketiga agenda itu bisa dijadikan acuan tergantung tingkat kesulitan gerakan yang dibangun.

Pertama tentukan tujuan gerakan. Sebelum melontarkan ide atau opini kepada publik secara luas terlebih dahulu tujuan gerakan harus ditetapkan secara tepat. Disini missi gerakan harus menjadi ‘panglima’ yang akan menjadi menunjuk arah. Namun pengalaman selama ini kenapa gerakan massa ‘layu’ ditengah jalan – persoalannya penggerak opini terbuai dengan imbalan-imbalan pragmatis yang ditemui ditengah jalan. Akibatnya ia lupa akan tujuan gerakan.

Kedua, pegang data dan fakta. Bagi seorang organizer, data adalah senjata yang paling ampuh. Dengan data dan fakta yang lengkap serta akurat kelompok target gerakan akan sulit membantah kebenaran yang kita sampaikan. Apa lagi itu bentuknya penyelewengan atau manipulasi. Ini lah yang banyak dilakukan oleh banyak aktivis dalam menjalankan programnya.

Ketiga, gali masalahnya. Berbekal data yang akurat dengan sedikit analisa saja kita sudah mengetahui pangkal masalahnya, kemudian dampaknya seperti apa. Bisa menimpa siapa saja dan lain seterusnya. Kalau sudah akar masalah dan dampaknya tergali baru tawarkan solusi penyelesaian dari problem sosial yang terjadi. Analisa yang cerdas, akan menghasilkan jawaban yang cerdas pula.

Ketiga agenda diatas adalah langkah minimal, jika masalah lebih luas dan komplek dibutuhkan strategi- strategi lain yang bisa ditemukan dilapangan. Karena sering kali fakta dilapangan berbicara lain dengan apa yang dipikir ketika dibelakang meja. Di sinilah kemudian beberapa aktivis gerakan memulai gerakan dengan terlebih dahulu memetakan lapangan lengkap dengan kekuatan yang didaerah tersebut.

Dalam mengelola opini menjadi sebuah gerakan, kita bisa belajar dari kesuksesan aktivis gerakan dalam mewacanakan Aktivis Busuk (2004), pelanggaran HAM, gerakan anti korupsi dan sebagainya. Kita bisa lihat, berbagai wacana yang disampaikan itu ternyata selalu disuarakan ketika momentum datang. Selain bekerja dengan rencana, mereka juga tidak pernah melewatkan momentum dalam menyuarakan perubahan. Hasilnya mereka terlatih membaca momentum.

Yang tidak kalah penting ketika mengelola opini menjadi gerakan adalah berkongsi dengan media massa. Demi misi gerakan, ‘konspirasi’ dengan media perlu dibangun.Bukankah media membutuhkan berita yang berasal dari masyarakat. Jika yang disampaikan itu benar dan menyangkut kepentingan publik luas maka tidak ada alasan bagi media untuk memberitakan apa yang ingin kita suarakan. Pada dasarnya semua media membutuhkan orang yang peduli dengan masyarakat. Media juga bisa membedakan mana gerakan pura-pura alias bohong. Lalu untuk membangun ‘konspirasi’ dengan media, bisa dengan mengadakan jumpa pers, seminar, lokakarya, demonstrasi atau menulis opini dan artikel dimedia massa. Cara –cara ini malah sangat efektif mengundang media agar mau memberitakan gerakan yang kita bangun.

Selanjutnya tokoh masyarakat juga perlu dirangkul. Karena bagaimanapun realitas masyarakat di Indonesia masih sangat mempercayai dan bergantung kepada tokoh. Selain akan menjadi penggerak utama, mereka bisa dimanfaatkan sebagai ‘bemper’ jika gerakan mendapatkan pertentangan dari penguasa atau kelompok tertentu yang merasa terusik. Dengan pengaruh yang dia miliki tentunya kelompok penentang akan berpikir sekian kali jika ingin mengganggu. Terkait dengan apa yang kita bicarakan hari ini, Bill Drayton, pendiri organisasi Ashoka AS dalam bukunya Mengubah Dunia, Kewirausahaan Sosial dan Kekuatan Gagasan Baru yang ditulis oleh David Bornsten mengatakan orang cerdas adalah orang yang tidak puas memberi ikan atau puas mengajari cara memancing. Orang cerdas adalah orang yang terus berjuang tanpa mengenal lelah melakukan perubahan sistemik mengubah sistem industri perikanan demi terciptanya keadilan dan kemakmuran.
Continue reading Manajemen Opini dan Aksi

Strategi Pengembangan PMII

Info Rayon Sakera - Anggitan awal, Mencermati dan mengamati sebuah gerakan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), berarti mengadakan sebuah diskusi panjang yang didalamnya terdapat sekian kelonggaran ruang untuk secara serius mendialektikan tema-tema pembicaraan itu kedalam agenda yang lebih spesifik dan runtut.Hal ini diperlukan karena pada pokok pembicaraan itu seringkali membuang habis energi tanpa adanya perumusan yang dapat didiskusikan secara terus menerus dan mendasar.Bahwa kondisi kultur seperti ini diperlukan perubahan sehingga budaya dialog masih menjadi media yang penting bagi tumbuh dan berkembangnya PMII.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia atau lebih popular disebut PMII adalah organisasi kemahasiswaan ekstra Universitas yang lahir pada tanggal 17 April 1960 di kota Surabaya,Jawa Timur.Ia adalah sosok gerakan mahasiswa yang terbit dari kehendak sejarah dan sekaligus kehadirannya untuk (membuat) sejarah ditengah kehidupan langgam bangsa yang sedang berlangsung.Proses kelahiran PMII juga tidak dapat dipisahkan dari kelompok muda yang mewakili komunitas masyarakat NU yang lebih bercorak agraris,pedesaan dan secara ekonomi,sosial politik termarginal.Anak-anak muda ini nampaknya sadar bahwa posisi demikian bila dibiarkan selain membawa dampak yang kurang bagus bagi pengembangan dan kemajuannya,juga mainstream yang sedang berjalan tidak menempatkannya dalam posisi keseimbangan dengan kekuatan-kekuatan lain yang terkesan di 'anak emaskan' oleh tatanan system yang tengah berjalan (Tahun 1960 an).

Dengan tidak menegasikan dari proses kelahirannya bahwa PMII adalah lahir dari kultur NU tadi,PMII senantiasa terus bergeliat bersama dinamika bangsa yang terus bergulir dari satu jaman kejaman berikutnya.Artinya PMII yang merupakan sintesa dari variabel keislaman,kemahasiswaan,dan keindonesiaan mencoba menjawab persoalan bangsa sebagai titik focus garapan utamanya sebab sublimasi nilai-nilai dasar yang menjadi acuan perjuangan PMII (Ideologi Gerakan PMII) tersebut,senantiasa diorientasikan kepada kepentingan kehidupan bangsa sebagai wujud pengabdian tertingginya.Disinilah kita kemudian dapat melihat sebuah kerangka dasar gerakan PMII yang akan diterjemahkan secara konsisten dan terus menerus.

Namun demikian,proses perjalanan PMII tetap dengan warna zaman yang menjadi pembalutnya.Kita dapat melihat perbedaan itu sangat jelas dalam periodisasi gerakan PMII dari masa kemasa.Perbedaan itu tidak saja dipengaruhi oleh gaya atau style gerakan oleh person-person yang menjadi motor penggeraknya,tetapi lebih ditentukan oleh konstelasi perpolitikan nasional yang tengah berlangsung. Dengan mencermati hal tersebut maka akan tercipta pada sebuah gambaran dan asumsi bahwa tingkat keterlibatan PMII dengan persoalan kebangsaan sungguh sangat kental.

Kekentalan gerakan PMII dengan persoalan bangsa yang dimaksud dapat diamati lewat gerakan PMII dalam tataran aplikasinya,semisal konsennya PMII dengan nasib rakyat kecil,penegakan kebenaran,keadilan dan kejujuran,perawatan moralitas bangsa,penguatan demokrasi,HAM dan lain sebagainya.Di luar itu semisal urusan-urusan yang bersifat paktis politis adalah komplementer, itupun dalam batas-batas tertentu dan sangat kondisional.Dengan kata lain,wujud konkrit dari strategi politik PMII adalah upaya merebut wilayah-wilayah garapan yang secara riil bersinggungan secara langsung dengan persoalan masyarakat,karena disinilah kemudian PMII sekaligus dapat dapat melakukan pendidikan politik yang efektif bagi rakyat.Yaitu model gerakan yang melibatkan seluruh kekuatan infrastruktur bersama rakyat melakukan proses pemberdayaan dan penyadaran terhadap posisi sebagai warga Negara dari sebuah komunitas bangsa.

Hal yang paling mendasar dalam PMII adalah pembekalan dirinya dalam kapasitas intelektual yang memadai. Sebab, tanpa dasar konsepsional yang jelas, gerakan PMII juga tidak akan menemukan kejelasan pada wilayah strategi dan taktik gerakan. Apalagi, asumsi gerakan adalah berawal dari konteks yang bernama pendidikan. Muh. Hanif dan Zaini Rahman (2000) mengutip Ben Agger (1992), mengatakan bahwa titik berangkat yang paling strategis bagi PMII adalah mentransformasikan pendidikan kehidupan intelektual sebagai investasi sosial, politik, dan kebudayaan.  Dalam hal ini adanya semacam sumbangsih terhadap realita dari intektualitas organisasi.

Dalam konteks inilah, semangat liberasi (pembebasan) yang pernah lahir dalam sejarah pemikiran PMII menjadi sebuah rujukan yang signifikan. Wilayah pembebasan dari konteks penindasan, baik dari represifitas otoritas politik (Negara-MediaPartai), maupun otoritas sosial (agama/pendidikan) dan ekonomi (pasar). Dengan filosofi liberasi akan terjadi proses perjuangan melampaui segala beban berat kehidupan demi melanjutkan amanat kemanusiaan sesuai dengan mandat yang diperoleh dari Nilai-nilai Dasar Pergerakan (NDP).

Sejalan dengan semangat liberasi dan Indenpendensi di atas itulah, maka PMII juga harus berperan menciptakan ruang bagi publik (public sphere) yang kondusif untuk mengembangkan kehidupan. Di titik inilah, Free Market of Ideas (FMI) menjadi signifikan untuk diciptakan pada ruang-ruang kemasyarakatan, kenegaraan dan keilmuan. Karena perlawanan terhadap hegemoni Negara, ideologi, pasar, dan Agama harus dihadapi dengan membuka sekian pintu kesadaran yang sengaja dikunci demi kepentingan kekuasaan.

Pada diskusi ini, kita sebenarnya sedang bergulat dengan dasar dan semangat pergerakan untuk perlawanan. Kalau kita jeli melakukan pembacaan situasi global, nasional dan lokal, maka dasar pergerakan ini jelas akan lebih tajam. Maka perbincangan kemudian akan kita dekatkan dengan “struktur penindasan” dan “situasi kemasyarakatan” yang ada di dalamnya yang akhirnya dapat kita jadikan landasan untuk membuat “situasi perlawanan”.

Pengertian Strategi dan Taktik  
Strategi berasal dari kata yunani "Strateges" yang berarti "Pemimpin Tentara".Jadi kata strategi asli berarti kemahiran memimpin tentara,demikian halnya dapat diartikan sebagai the art of the general.Antoni Henri Jomini (1779-1869) dan Karl Van Clausewitz (1780-1831) yang merintis dan memulai mempelajari strategi secara ilmiah. Beberapa pengertian strategi :
1. Jomini mengatakan strategi adalah seni menyelenggarakan perang diatas peta dan meliputi seluruh kawasan operasi.
2. Clausewitz mengatakan strategi adalah pengetahuan tentang penggunaan pertempuran untuk kepentingan perang.
3. Lidle hart,seorang inggris yang hidup di Abad 20 setelah mempelajari sejarah secara global mengatakan strategi adalah seni untuk mendistribusikan dan menggunakan sarana militer untuk mencapai tujuan politik.Strategi merupakan seni,olehkarena itu penglihatan dan pengertiannya memerlukan intuisi.
4. Strategi juga merupakan seni sekaligus pengetahuan.
5. Dalam arti sederhana strategi pada dasarnya merupakan suatu kerangka rencana dan tindakan yang disusun dan disisipkan dalam suatu rangkaian pentahapan masingmasing merupakan jawaban yang optimal terhadap tantangan-tantangan baru yang mungkin terjadi sebagai akibat dari langkah sebelumnya dan keseluruhan proses.

Adapun Taktik dalam arti yang paling sederhana adalah serangkaian cara untuk melaksanakan siasat. Ia merupakan bagian integral dari strategi.

Setrategi adalah sebuah perencanaan untuk menetepkan dimulainya sebuah gersakan sampai terwujudnya cita-cita gerakan. Sementara taktik adalah suatu rancangan gerakan yang bersifat spesifik sebagai bagian dari keseluruhan setrategi gerakan yang dijalankan. Secara mudah bisa dikatakan setrategi adalah seluruh rencana gerakan sedangkan taktik adalah langkah kongkrit yang bisa berubah sewaktu-waktu sesuai perkembangan kondisi sosial yang ada.

Pembacaan Terhadap Situasi Penindasan dan Situasi Perlawanan
Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak lepas dari era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Deepak Nyaar, ilmuwan yang mengaitkan globalisasi dengan situasi penindasan menyatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua adalah (Deepak Nyaar: 1998). Pertama, Fase Imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870-1813 yang memakai payung ideologi Kapitalisme Klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith, “leizzis faire” (persaingan bebas tanpa batas). Kedua, fase ini terjadi pada dekade 1870-1970-an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat dengan semangat yang hampir sama dan bernaung di bawah bendera Neo-liberialisme.

Mengamini pendapat di atas, James Petras (2001) menyatakan bahwa di bawah proyek globalisasi yang diusung Barat sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme dengan agenda penguasaan dalam pengertian yang sangat luas, baik dalam arti material (SDA) maupun mental (SDM) atas “Negaranegara Dunia Ketiga”.

Dengan berpijak pada tiga doktrin, yaitu Liberalisasi (kebebasan dalam arti ekonomi), Diregulasi (tidak adanya Negara yang mengatur lalu lintas barang/jasa dan tidak ada subsidi bagi rakyat), serta Privatisasi (swastanisasi, BUMN harus dijual kepada pihak swasta, Pemodal, atau Investor), Neo-liberialisme berjalan melewati setiap Negara yang sudah tidak berdaya karena lilitan Hutang Luar Negeri (HLN). Dengan tekanan HLN inilah para Negara Door-Kapitalis (Uni Eropa, USA, dan Jepang) membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi “Negara Dunia Ketiga” untuk meliberalisasi kehidupan ekonominya. Dalam konteks perekonomian, pasar semisal, kita mengenal pasar berkelas Positivistik (harga pas) yang bertujuan meruntuhkan pasar tradisional (tawar-menawar).

Lembaga-lembaga seperti International Monetary Found (IMF), Paris Club, CGI, dan WTO menjadi sangat efektiv dalam melakukan kerja-kerja Imperialisme dengan baju Globalisasi. Setelah (peraturan bea dan cukai dan lain-lain) perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan, perusahaan-perusahaan yang dimiliki Negara Kapitalis yang sering disebut dengan Trans National Coorporation (TNC) dan Multi National Coorporation (MNC) mulai menancapkan kukunya di negeri ini yang bertujuan mendominasi dan penghisaban. Pada saat inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan disedot habis oleh investor asing dan akhirnya kita menjadi terasing di Negeri sendiri. Dan yang lebih parah, kita menjadi budak di Negeri sendiri dengan upah yang sangat murah.

Dalam relasi penindasan demikian, masyarakat kita sebagian besar berada di posisi yang semakin memprihatinkan. Petani tidak bisa menjual gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena kalah bersaing dengan padi yang ada di luar. Hal yang sama kita jumpai pada hal komoditas gula, buah-buahan dan barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu Negara sudah tidak berdaya lagi karena tekanan dari lembaga donor untuk tidak memberikan subsidi pada rakyat. Kenaikan BBM, listrik, dan telepon adalah imbas dari pemotongan subsidi demi pembayaran hutang. Demikian dengan biaya pendidikan, juga bisa dilihat dari perspektif ini. UU no. 20 tahun 2003 tentang SISDIKNAS adalah gambaran dari gelagat Negara yang ingin melepas tanggung jawabnya atas subsidi pendidikan, sehingga membuka peluang terjadinya ”Kapitalisasi Pendidikan”. Persoalan bertambah runyam ketika pondasi perekonomian kita semakin lemah dan berimbas pada sektor tenaga kerja yang semakain kehilangan lapangan pekerjaan.

Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus Globalisasi, kita malah secara politik semakin sibuk dengan kepentingan pertarungan kelompok-kelompok elit yang sebagian besar tidak memihak rakyat. Pertarungan elit, baik pada level Eksekutif, Legislatif, Yudikatif, Pengusaha, sampai pada Partai Politik yang mulai melibatkan kekuatan Media, akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang semakin terpecah belah. Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh yang bisa disebutkan sebagai imbas dari amburadulnya Budaya Politik di level Negara. Di sisi Budaya kita digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari akar sejarah dan budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin ke-Barat-baratan (westernisasi) dan bisa meniru mereka pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya (identifikasi). Kita tidak sadar sedang didorong untuk menjadi konsumen pasar yang dibuka oleh orang Barat. Watak ini dalam bangsa kita sering disebut dengan watak Inlander (Hasyim Wahid: 2001).

Dampak lain dari Globalisasi, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang akhirnya melahirkan gerakan-gerakan Fundamental. Islam adalah Agama yang sering menjadi sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama dengan kerja-kerja terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11 September (Black Tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot, dan tragedi pengeboman yang lain semakin meyakinkan asumsi bahwa fundamentalisme Agama sebagai sebuah Resistensi Globalisasi yang sangat West-biased (Bias Barat); atau bisa dikatakan Fundamentalisme Pasar sedang berhadapan dengan Fundamentalisme Agama (Islam).

Walaupun Fundamentalisme Islam melawan Kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar sosial keagamaannya, pemahaman tekstual (skriptualistik) terhadap ajaran dan doktrin Agama sangat kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual semakin sempit, dan ajaran akhirnya dipahami sebagai sesuatu yang sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak menjadi bagian dalam  kesadaran tafsir mereka. Sehingga gerakan Fundamentalis Islam cendrung gampang mengkafirkan (takfir) dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat dengannya dan menggolongkannya sebagai ”the others”.

Dari sekian pembacaan-pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas, kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat strategi perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus diperbuat, jangan sampai kita selaku yang sadar gerakan justru menjadi buta dalam melihat.

Masyarakat terbagi dalam Tiga Lokus (Eman Hermawan: 2001), yaitu: Civil Society (masyarakat sipil), Political Society (masyarakat politik), dan Economical Society (masyarakat ekonomi). Dalam kerangka ini, Strategi dan Taktik Gerakan PMII akan dijelaskan dengan  tetap memakai kerangka ”liberasi dan independensi”, dan dengan menggunakan Paradigma Kritis Transformatif.

Rumusan Strategi Gerakan berdasarkan pembagian Lokus Masyarakat kiranya dapat disederhanakan dalam tabel berikut:

No
1. Lokus Masyarakat:
Civil  Society (masyarakat sipil, Ormas, LSM, Germa, dan kelompok masyarakat)
Strategi Gerakan:
a. Menciptakan budaya alternatif
- Mempertahankan kesadaran bahwa kita memiliki budaya.
- Membentuk kelompok-kelompok studi kebudayaan. 
b. Menciptakan kesadaran lokalitas (nasionalisme)
- Pendidikan politis-idealis untuk rakyat.
- Advokasi, pendampingan, dan pengorganisiran rakyat.
- Advokasi kebijakan.
c. Menciptakan kemandirian ekonomi
- Membangun ruang-ruang ekonomi kerakyatan (koperasi dll.).
- Pengorganisasian ruang-ruang ekonomi rakyat anti positivistik kapitalistik.
d. Mewujudkan pendidikan untuk rakyat (kurikulum berbasis kerakyatan, sekolah geratis, KHP (Kritis Humanis dan Profesional).
- Menciptakan sekolah-sekolah alternatif.
- Pressure kebijakan pendidikan
2. Political Society  (masyarakat politik, Negara, dan partai politik
Negara: 
a. Penguatan posisi Negara terhadap pasar dan negara kapitalis
- Advokasi kebijakan.
b. Pergerakan supremasi hukum
- Advokasi kebijakan.
Partai Politik:
a. Membangun ruang bargaining rakyat dengan partai politiik
- Kotrak sosial/politik.
3. Economic Society (masyarakat ekonomi: pengusaha pribumi, investor, spekulan, MNC/TNC)
a. Menciptakan keseimbangan pasaar Negaranegara civil society
- Kontrak sosial/politik.
b. Membangun kantong-kantong kontrol rakyat terhadap pasar dan kebijakan ekonomi.
- Menciptakan kelompok-klompok studi ekonomi dan kebijakan pasar.
- Menciptakan serikat-serikat buruh

Strategi yang masih merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus diterjemahkan dan dikerucutkan dalam kerjakerja taktis. Antonio Gramsci (1956) membagi tiga wilayah gerakan atau perang (war), yaitu: War of Position (perang posisi), War of Opinion (perang opini), dan War of Movement (perang gerakan). Ketiga wilayah gerakan ini menjadi landasan awal untuk membingkai Strategi Gerakan PMII saat ini.

Dari uraian Gramsci di atas, konteks pergerakan harus memenuhi Tiga Ruang yaitu: ruang Penegasan Jati Diri Organ atau posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung, ruang Dialektika Pemikiran dan Gagasan sebagai dasar rasionalitas atau posisi yang dipilih, dan Ruang Praktis yang menjadi indikator perubahan dengan dorongan konkrit baik di level kader maupun masyarakat.

Perencanaan Strategis
Perencaan strategis adalah sebuah upaya yang didisiplinkan untuk membuat sebuah keputusan dan tindakan penting yang membentuk dan memandu bagaimana menjadi organisasi, apa yang dikerjakan organisasi dan mengapa organisasi melakukan hal itu.

Perencanaan strategis awal penggunaannya dipelopori oleh militer dalam menyusun strategi dan taktik perang, pertahanan dan keamanan dan juga di gunakan di sektor pemerintahan lainnya. Kemudian diadopsi oleh perusahaan-perusahaan besar dalam menganalisa dan merencanakan proses produksi dan pemasararan produk, terakhir organisasi sosial dan kemasyarakatan juga menggunakannya guna mengefektifkan kerja-kerja organisasi.

  • Syarat dari perencanaan strategis :
1. Pengumpulan informasi secara luas.
2. Eksplorasi alterantif dari sumberdaya dan pemecahan masalah
3. Implikasi dari kebijakan yang diterpakan

Perencanaan strategis memfokuskan dirinya pada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu atau bisa juga disebut sebagai perencanaan untuk mempolitisasi keadaan. Perencaan strategis juga memperkirakan kecenderungan baru, diskontinuitas dan pelbagai kejutan yang terjadi (Ansoff, 1980).

  • Manfaat perencanaan strategis :
1. Cara berfikir yang strategis untuk mengembangkan strategi yang efektif
2. Menciptakan prioritas kerja dan memperjelas arah masa depan
3. Memecahkan beberapa masalah utama organisasi
4. Menangani keadaan yang berubah dengan cepat secara efektif
5. Mengembangkan landasan yang kokoh dan luas dalam membuat sebuah keputusan
6. Dll

  • Langkah-langkah dalam membuat perencanaan strategis:
1. Memrakarsai dan menyepakati suatu proses perencanaan strategis
2. Mengidentifikasi mandat organisasi
3. Memperjelas misi-misi dan visi organisasi ke depan 
4. Analisa stake holder organisasi
5. Menilai lingkungan eksternal : peluang dan ancaman
6. Menilai lingkungan internal : kekuatan dan kelemahan
7. Mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi organisasi
8. Merumuskan strategi untuk mengelola isu-isu

  • Cara mengenali isu strategis:
1. Pendekatan langsung (direct approach) pendekatan yang dilakukan dengan melakukan ulasan terhadap mandat, visi misi dan SWOT, pendekatan ini merupakan pendekatan terbaik ketika tidak ada kesepakatan akan sasaran (goal) yang hendak dicapai.
2. Pendekatan sasaran (goal approach) pendekatan yang menetapkan bahwa organisasi harus menetapkan sasaran tertentu yang akan memandu proses perencanaan strategis untuk mencapai tujuan tersebut.
3. Pendekatan visi keberhasilan (vision of success) Pendekatan  yang mengembangkan gambar yang ideal sebagai visi organisasi dimana visi organisasi harus dinamis dalam mengikuti perkembangan dan menjawab tantangan yang ada sehingga dimungkinkan perubahan drastis terhadap strategi yang digunakan.

Alur Dasar Perencanaan Strategis
Refleksi:
(Perencanaan dan koortdinasi)
1. Memahami Visi, Misi, dan tujuan dasar kelembagaan
2. Menentukan Prinsip dasar

Aksi:
Kerja Gerakan
Evaluasi  (Fungsi Kontrol )
Mengevaluasi Visi, Misi dan Tujuan
1. Analisa Masalah
- Memahami masalah
- Identivikasi masaalah
- Klasifikasi makalah
2. Analisa Kebutuhan
- Menentukan Visi, Misi, dan tujuan dasar
3. Analisa Kebutuhan
- Menentukan sikap
- Menentukan pilihan
4. Menentukan Strategi Dan kebutuhan  Aksi 
Continue reading Strategi Pengembangan PMII

Analisa Sosial

Info Rayon Sakera -  Dalam analisis sosial, Auguste Comte, seorang pemikir fenomenal dari Prancis yang hidup pada abad 18 M, merupakan sosok yang dikenal sebagai “Bapak” Sosiologi. Karyanya yag berjudul “Course of Positive Philosophy”, disebut-sebut sebagai pengantar awal yang menjelaskan pengertian tentang masyarakat secara sistematis dan ilmiah. Menurut Johnson bahwa buku ini mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam menjelaskan fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat (society). (Lawang, 1986).

Lebih jauh Comte menegaskan bahwa masyarakat harus dipelajari secara ilmiah dan mendalam sebagai suatu keseluruhan dan kesatuan sistem. Pandangan yang bersifat “systemic” dari comte ini pada perkembangannya dipertegas oleh Herbert Spencer dengan pendekatan “organic analogy”nya. Pada dasarnya ia melihat masyarakat sebagi suatu organisme dimana elemen-elemennya saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk suatu struktur yang bekerja untuk memenuhi fungsifungsi tertentu dalam rangka kelangsungan hidupnya.

Di lain pihak, sekelompok tokoh-tokoh lainnya yang sering disebut sebagai kaum “individualist” percaya bahwa, tidak mungkin untuk mengerti hakekat keteraturan sosial tanpa mempelajari secara mendalam interaksi perorangan antara individu-individu yang terlibat didalamnya (partisipating individual). John Stuart Mills misalnya mengatakan bahwa sebagai suatu kumpulan dari individu, suatu masyarakat atau kolektiva sosial tidak mungkin muncul sebagai suatu fenomena baru yang bebas dari fenomena individu. Di dalam suatu kumpulan massa seorang individu tidak akan berubah menjadi unsur yang lain sebagaimana hidrogen dan oxigen akan berubah menjadi air. Di samping itu Max Weber mengatakan bahwa untuk mengerti keteraturan sosial kita harus mencoba menginterpretasikan tindakan sosial dari individu, karena pada hakekatnya keteraturan sosial adalah hasil dari tindakan individu.(Berry, 1982).

Perbedaan faham dari para “founding father” sosiologi tersebut terus diwarisi hingga kini. Saat ini kita mengenal berbagai aliran pemikiran (School of Thought) di dalam ilmu sosiologi Yakni: Structural functionalism, Conflict approac, Social exchange theory, Symbolict interactionism, dsb. Kelompok aliran pemikiran diatas berkisar dari yang sangat bersifat “collectivistic” seperti kaum struktural fungsional sampai kepada kelompok yang sangat “individualistic” yakni kelompok interaksionalisme simbolik.

Secara historis, sebenarnya sosiologi adalah sebuah disiplin ilmu-pengetahuan yang lahir atas adanya keingin-tahuan masyarakat Eropa Barat pada masa itu terhadap dirinya sendiri, terhadap eksistensi dan hakekat masyarakat Eropa. Karena sejak abad 15/16 M sampai abad 18 M, masyarakat Eropa Barat mengalami sebuah proses perubahan sosial yang sungguh luar biasa dan belum pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya. Kondisi ini tidak lain dipicu adanya “Revolusi Intelektual” yang didendangkan oleh gerakan “Renaisance dan Humanism”. Gerakan tersebut secara drastis merubah tatanan masyarakat Eropa. Eropa, sebelum Renaisance dan Humanism (age of enligment) mengalami masa-masa kegelapan (abad kegelapan) yang dicirikan dengan: struktur masyarakat yang stagnan, takhayul berkembang, intelektualitas mengalami kebuntuan dan jauh dari peradaban, (Saunders, 1994).

Dengan munculnya gerakan Renaisance dan Humanisme tersebut, maka berubahlah masyarakat Eropa Barat menjadi sebuah tatanan struktur modern yang mapan dan progressif dengan ritme perubahan yang setiap detiknya semakin cepat dan tidak terduga. Norma, nilai dan pola-pola hubungan mengalami banyak pergeseran. Dari sini muncul kesadaran kolektif dari masyarakat Eropa untuk lebih memahami tentang dirinya, tentang apa dan bagaimana menjelaskan situasi yang terjadi pada masyarakat Eropa tersebut. Sosiologi - yang dikembangkan Comte - dianggap sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mampu menjelaskan berbagai fenomena dari situasi kondisi masyarakat Eropa tersebut. Sehingga wajar bila kehadiran sosiologi mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Eropa Barat pada sekitar abad 18 dan 19 M.

Paradigma Analisis Sosial 
Sebagai alat anlisis terhadap berbagai fenomena kemasyarakatan, analisa sosial merupakan suatu metode alternatif dalam memahami realitas sosial berikut berbagai persoalan yang muncul didalamnya. Menurut Roem terdapat dua matra dalam melakukan analisa sosial, yaitu : metode pendekatan dan arah tujuan. Dalam konteks ini penulis mencoba untuk memahami analisis sosial sebagai instrumen sosial  dengan menggunakan pendekatan paradigma sosiologi. Hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan para pembaca dalam memetakan teori-teori yang ada dalam ilmu-ilmu sosial.

Secara konseptual paradigma merupakan pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subjectmatter) disiplin ilmu. Paradigma dengan demikian merupakan tentang apa yang seharusnya menjadi obyek studi disiplin tertentu. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam satu disiplin yang membedakan antara komunitas ilmuwan (subkomunitas) yang satu dengan yang lain. Paradigma menggolonggolongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara exemplarexemplar, teori-teori dan metode-metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Ada tiga yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigmatik dalam sosiologi.

Pertama, adanya perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing komunitas sosiolog tentang pokok persoalan semestinya dipelajari sosiologi. Asumsi dasar atau aksioma antara komunitas sosiolog yang satu dengan yang lain berbeda.

Kedua, sebagai akibat logis yang pertama, maka teori-teori yang dibangun dan yang dikembangkan masing-masing komunitas itu berbeda.

Ketiga, metode yang dipakai untuk memahami dan menerangkan substansi disiplin inipun berbeda. Bahkan unsur politik juga bisa menjadi sebab terjadinya pertentangan.

Paradigma bukan saja mengkaji tentang apa yang harus dipandang, namun juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuwan satu dengan lainnya. Menurut Thomas Kuhn (dalam Ritzer,  2002), paradigma merupakan alat analisis untuk memberikan dasar ukuran sesuai dengan keharusan logika yang telah disetujui oleh komunitas penganutnya. Lebih lanjut paradigma merupakan konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun, sosiologi, dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk meyakini keberadaan sesuatu yang baru. Paradigma adalah model atau pegangan untuk memandu mencapai tujuan.(Ritzer, 2002).

Dalam studi analisa sosial, paradigma menempati posisi urgen dan mendasar sebagai pijakan yang dipakai dalam berdialog dengan realitas sosial. Karena paradigma masing-masing memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami realitas, mengingat dengan luasnya obyek sosial yang ada, dengan beragamnya ruang dan waktu sekaligus latar belakang para ilmuwan yang berbeda, akan melahirkan perbedaan dalam melakukan suatu analisis.

1. Paradigma Analisis Sosial
Menurut George Ritzer (1982) analisis sosial secara paradigmatik dikembangkan dalam tiga model, yaitu :
a. Paradigma Fakta Sosial
b. Paradigma Definisi Sosial
c. Paradigma Prilaku Sosial

Ketiganya dianalisa dengan masing-masing komponen paradigma yang telah digariskan sesuai dengan pengertian di atas.Hal mendasar dalam perbedaannya adalah asumsi-asumsi dasarnya mengenai hakekat dasar kenyataan sosial.
a. Paradigma Fakta Sosial
Dalam paradigma fakta sosial, setiap masalah harus diteliti didalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu yang lainnya dan tidak dapat dipelajari hanya sekedar melalui introspeksi. Menurut Durkheim Fakta sosial terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material, yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi yag menjadi bagian dari dunia nyata (external World). Contoh arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata (external), yang berupa fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya  dapat muncul dari kesadaran manusia. Contoh egoisme, altruisme dan opini.

Adapun obyek dari fakta sosial adalah: peranan sosial, pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Teori fakta sosial berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya pada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian suatu sistem. Oleh karena itu fungsi bersifat netral secara ideologis. Maka, Merton juga mengajukan teori dis-fungsi. Sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial lainnya, sebaliknya ia bisa menimbulkan akibat-akibat negatif. Contoh, perbudakan yang terdapat pada sistem sosial Amerika lama, khususnya bagian selatan.

Dalam paradigma fakta sosial pokok persoalan yang harus diangkat adalah Fakta-fakta sosial. Secara garis besarnya fakta sosial ini terdiri atas dua tipe yaitu, struktur sosial dan pranata sosial. Secara terperinci fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (Societies)., sistem sosial, posisi, peranan, nilainilai, keluarga, pemerintah, dan sebagainya. Menurut Peter Blan tipe dasar dari fakta sosial ini:
1. Nilai-nilai umum (Common Values)
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaa/sub kultur

Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut institusion atau disini diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial dimana intraksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub- kelompok dapat dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian, struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan analisa sosial menurut fakta sosial.

b. Paradigma Definisi Sosial.
Exemplar paradigma ini adalah salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Max Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial (social action). Menurutnya sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan yang ditujukan pada benda mati/fisik tanpa ada hubungan dengan orang lain termasuk tindakan sosial.

Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu terdapat lima ciri pokok menurut Weber yang menjadi sasaran analisis sosial, yaitu:
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata yang brsifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positifdari suatu situas, tindakan yang sengaja diulangserta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Untuk mempelajari dan memahami tindakan sosial tersebut diperlukan sebuah metode. Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau dalam terminologi Weber sendiri disebut dengan: verstehen. Dalam melakukan analisis sosial, seorang analis harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor, dalam artian memahami motif dari tindakan si aktor.

c. Paradigma Prilaku Sosial
Paradigma yang dimotori skinner ini memusatkan perhatiannya kepada proses interaksi. Tetap secara konseptual berbeda dengan paradigma tindakan definisi sosial. Menurut prilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial. Sebagai perbandingan selanjutnya paradigma fakta sosial melihat tindakan individu sebagai ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.

Paradigma prilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan lingkungannya. Lingkungan itu terdiri atas:
1. Bermacam-macam obyek sosial.
2. Bermacam-macam obyek non sosial Singkatnya hubungan antar individu dengan obyek sosial dan hubungan antara individu dengan non sosial dikuasai oleh prinsip yang sama. Secara garis besar pokok persoalan analisis sosial menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor. Dan pada paradigma ini para sosiolog atau analis sosial lebih memusatkan pada proses interaksi.(Ritzer,2002).

Fokus Analisi: Struktur Sosial dan Proses Kemasyarakatan 
Dalam Antropologi sosial, konsep struktur sosial sering identik dengan organisasi sosial, terutama bila dikaitkan dengan masalah kekerabatan, kelembagaan dan hukum masyarakat yang tergolong bersahaja. Menurut Firth dalam (Syani, 1994), bahwa organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris. Sedangkan E.R. Leach menetapkan konsep tersebut pada cita-cita tentang distribusi kekuasaan di antara orang-orang dan kelompok-kelompok.

Dari pendapat di atas dapat diartikan bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Jadi struktur sosial tidak hanya mengandung unsur kebudayaan belaka, melainkan sekaligus mencakup seluruh prinsip-prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.

Dengan tidak mengurangi dari pengertian struktur sosial tersebut, maka secara singkat struktur sosial juga dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan prilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Sebagaimana disebutkan Soerjono Soekanto, bahwa unsur-unsur sosial tersebut meliputi: (1) Kelompok sosial, (2) Kebudayaan, (3) Lembaga sosial, (4) Stratifikasi sosial, (5) Kekuasaan dan wewenang.

Lembaga-lembaga dalam struktur sosial tersebut, antara lain: Kelompok dan asosiasi baik yang bersifat paguyuban atau patembayan, keluarga, lembaga sosial agama dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga politik-ekonomi.

Dalam perkembangannya lembaga-lembaga sosial tersebut akan mengalami suatu proses pelembagaan. Seperangkat hubungan sosial melembaga apabila: (1) sudah dikembangkan suatu sistem yang teratur tentang status dan peran, dan (2) sistem harapan status  dan peran sudah umum diterima di masyarakat. Sebagai contoh di Amerika, bahwa kencan (dating) telah memenuhi kedua kualifikasi tersebut. Dimana seperangkat peran mengatur secara sistematis hak dan kewajiban antara pria sebagai peminang dan wanita penerima dan sebagainya dengan dilindungi sejumlah pembatasan atau pengendalian untuk mencegah komplikasi, dengan demikian kencan menjadi bagian dari lembaga perkawinana dan keluarga. Namun pada perkemabangannya proses sosial tersebut berubah seiring dengan pola hubungan muda-mudi sudah semakin tidak formal dan tanpa batasan dan pengendalian tertentu, sehingga menunjukkan lembaga telah berubah.

Proses sosial, merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat dengan didalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia dengan sesamanya. Proses tersebut berupa antar aksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terusmenerus. Antar aksi (interaksi) sosial, dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak baik antar individu atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Proses sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk proses sosial kemasyarakatan tersebut antara lain: (1) kerjasama (co-operation), (2) persaingan (competition), (3) pertikaian atau pertentangan (conflict) dan (4) akomodasi (acomodation).

Pendekatan Analisis Sosial
Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam suatu analisis sosial dengan mencermati pada struktur sosial dan proses kemasyarakatannya dapat dirumuskan dalam dua model, yaitu: (1) fungsional dan (2) konflik.

Fungsional
Oleh kebanyakan pengeritik, pendekatan fungsional-struktural ini dianggap sebagai dunia statis, dunia tanpa perubahan radikal, meskipun dalam kenyataannya sering digunakan dalam menata struktur dan sistem sosial di masyarakat. Padahal sebenarnya, fungsional-struktural juga menerangkan tentang perubahan sosial. Setidaknya terdapat 7 ciri umum prespektif fungsionalstruktural, yaitu, (Lauer: 1989):
a. Masyarakat harus dianalisis sebagai keseluruhan, selaku “sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan”.
b. Hubungan sebab dan akibat bersifat “jamak dan timbal balik”.
c. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan “kesetimbangan dinamis” (homeostatic equilibrium), penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu.
d. Integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi.
e. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian ketimbang perubahan revolusioner.
f. Perubahan adalah hasil penyesuaian (adaptation) atas perubahan yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui differensiasi dan melalui penemuan-penemuan internal.
g. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama.

Tujuh hal di atas merupakan prinsip-prinsip dasar dari prespektif fungsional struktural yang mula-mula dikembangkan oleh Talcott Parsons.

Masih menurut Parsons, setiap sistem sosial (masyarakat) mempunyai empat struktur penting, yaitu (Jhonson : 1986) :
a. Struktur Kekerabatan, struktur-struktur ini berhubungan dengan pengaturan ungkapan perasaan seksual, pemeliharaan dan pendidikan anak muda.
b. Struktur Prestasi Instrumental dan Stratifikasi, strukturstruktur ini menyalurkan semangat dorong individu dalam memenuhi tugas yang perlu untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat keseluruhan sesuai dengan nilainilai yang dianut bersama. Suatu strategi pokok untuk menjamin motivasi ini adalah memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan sumbangan yang diberikan.
c. Teritorialitas, kekuatan, dan integrasi dalam sistem kekuasaan, Semua masyarakat harus mempunyai suatu bentuk organisasi teritorial. Hal ini perlu untuk mengontrol konflik internal dan untuk berhubungan dengan masyarakat lainnya, atau, semua masyarakat mempunyai suatu bentuk organisasi politik. d. Agama dan Integrasi nilai, pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama sudah sering kali ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilainilai itu sangat erat hubungannya dengan institusi agama.

Keempat struktur penting dalam sebuah sistem sosial tersebut, untuk dapat berjalan secara benar harus memperhatikan prasyarat-prasyarat fungsional. Lebih lanjut, dengan dibantu oleh Robert F Bales, Parson (Jhonson, 1986) mengajukan prasyaratprasyarat fungsional tersebut dalam menganalisa sistem sosial yang dikenal dengan konsep AGIL, yaitu :
a. A - Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistemsistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Ada dua dimensi permasalahan yang dapat kita bedakan. Pertama, harus ada “suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap ‘tuntutan kenyataan’ yang keras yang tak dapat diubah” (inflexible) yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses “transformasi aktif “ dari situasi itu.
b. G – Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun, perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial.
c. I – Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antar para anggota dalam sistem sosial itu.
d. L – Latency Pattern Maintenance, konsep latensi (latency) menunjukkan pada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sisitem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya di mana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.

Keempat prasyarat fungsional tersebut terbagi dalam dua dikotomi, yaitu :
a. Dikotomi eksternal-internal, fungsi integrasi dan pemeliharaan pola laten dipusatkan pada masalah internal, dan  adaptasi dan pencapaian tujuan dipusatkan pada hubungan dengan lingkungan eksternal.
b. Dikotomi instrumental-consummatory, fungsi adaptasi dan pemeliharaan pola merujuk instrumental, dan pencapaian tujuan dan integrasi merujuk pada consummatory.

Keempat prasyarat fungsi dan dua dikotomi itulah yang akan mengendalikan perubahan sosial dalam sebuah sistem sosial, sehingga perubahan yang terjadi bersifat lambat dan stabil, tidak revolusioner; lebih dari itu, sistem sosial tidak mengalami guncangan yang berlebihan. Selanjutnya, Parsons membagi 4 jenis proses perubahan, yaitu, (Lauer: 1993) :
a. Proses keseimbangan, meliputi proses di dalam sistem sosial.
b. Perubahan struktural, mencakup perubahan fundamental dari sistem sosial.
c. Diferensiasi struktural, meliputi perubahan satu subsistem atau lebih tetapi tidak menyebabkan perubahan secara keseluruhan.
d. Evolusi, yakni proses yang melukiskan pola perkembangan masyarakat sepanjang waktu.

Pada dasarnya, teori fungsional menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada konsensus nilai dan menyumbang pada solidaritas, integrasi dan keseimbangan.

Demikianlah beberapa konsep penting untuk mencemati masalah dalam analisis kemasyarakat dengan melihat perkembangan dan perubahan masyarakat dalam struktur dan proses sosialnya menurut prespektif fungsional-struktural yang dikembangkan oleh Parsons, dan kemudian disempurnakan oleh Merton dengan menambahkan konsep fungsional dan dis-fungsional. Di mana, menurut Merton, pertentangan antara fungsional (fungsi yang diharapkan) dan dis-fungsional (fungsi yang tidak diharapkan), dapat menimbulkan perubahan sosial dalam sebuah struktur/sistem sosial, yang diawali dengan dis-fungsional latent.

Konflik

Dalam banyak hal (meskipun tidak seluruhnya) teori konflik masa kini mencerminkan pengaruh Marx. Khususnya aliran teori kritis banyak mengambil asumsi filosofis Marx dan menngunakan gaya analisanya dalam memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk dominan dalam kesadaran menyatakan dan memperkuat pola-pola dominasi sosial politik. Kebebasan dari dominasi serupa itu dan pemenuhan kebutuhan manusia secara maksimal merupakan tujaun yang sangat ditekankan oleh para ahli teori kritis.

Teori Marx memberikan semacam batas yang penting dalam bidang intelektual sehingga para ahli teori sejak Marx dapat dengan mudah dikelompokkan menurut apakah mereka mengambil pendekatan Marxis atau non-Marxis (tidak semua teori konflik harus Marxis). Apakah seseorang ahli setuju atau tidak dengan posisi Marx, ada beberapa segi kenyataan sosial yang dia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orangorang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran, dan pelbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, yang kiranya sangat penting.

Sebagaimana pendekatan Mills dengan memberikan prioritas yang jauh lebih besar pada kebutuhan individu. Dalam salah satu tema utamanya The Sociological Imagination adalah bahwa analisa sosiologis harus ditekankan pada usaha memperlihatkan hubungan antara masalah pribadi individu dan isu-isu sosial yang lebih luas yang berakar dalam struktur dasar masyarakat itu. Masalah pribadi individu, seperti masalah yang bersifat material (penganguran, kemiskinan) atau masalah psikologis seperti kerja tanpa makna atau alienasi, dapat ditunjukkan secara umum akarnya dalam struktur masyarakat. Menurut Manheim, bahwa pertumbuhan dalam rasionalitas formal dalam struktur sosial, seperti yang terungkap dalam organisasi birokratis yang besar dan kompleks, berdampak pada penyempitan kebebasan manusia dan hilangnya pemahaman mereka yang subtantif mengenai dinamika struktur organisasi keseluruhan dimana mereka terlibat. Dengan kata lain individu mengambil bagian dalam sistem yang sangat rasional, tetapi tanpa sepenuhnya sadar akan bagaimana peran-perannya yang khusus itu cocok satu sama lain dalam struktur keseluruhan.

Seorang sosiolog dan salah satu penganut teori konflik dari Jerman Ralf Dahrendorf (dalam Johnson, 1986) menolak tekanan kaum fungsionalis pada integrasi, nilai dan konsensus normatif, serta stabilitas yang dipandang berat sebelah. Dia berusaha mendasarkan teorinya pada suatu perspektif Marxis yang modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Tetapi berbeda dengan aliran Frankfurt, Dahrendorf tidak menggunakan perspektif Marxis sebagai suatu dasar untuk kritik budaya yang radikal. Dia menekankan tingkat analisa struktur sosial. Khususnya dia mengkritik Marx mengenai teori pembentukan kelas dan teori konflik kelasnya yang hanya relevan untuk tahap awal kapitalisme, bukan untuk masyarakat industri post-capitalist. Teori Dahrendorf ini lebih umum daripada teori Marx, karena karena dapat berlaku tidak saja bagi masyarakat kapitalistik, tetapi juga sosialitik. Seperti difahami bahwa, Marx mendasarkan teorinya pada pembentukan kelas pada pemilikan alat produksi, sementara Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang lebih penting dan bukan kepemilikan alat produksi.

Menurut Dahrendorf (dalam Johnson, 1986) fungsi atau konsekuensi konflik adalah menimbulkan perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas. Ditambahkan ada tiga tipe perubahan struktural:
a. perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi.
b. peruabahan sebagaian personel dalam posisi dominasi.
c. digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa.

Perubahan personel, baik seluruh atau sebagaian, hanyalah berarti bahwa orang-orang dalam kelas subordinat masuk ke dalam kelas yang berkuasa. Salah satu dari kedua perubahan ini biasanya akan memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan yang ketiga, tetapi perubahan yang ketiga dapat pula terjadi tanpa perubahan personel yang berarti. Sesungguhnya jika semakin berhasil kelas yang berkuasa itu dapat mengikuti strategi perubahan yang ketiga, semakin kurang kemungkinan kedua tipe yang pertama dari perubahan struktural itu akan terjadi.

Dahrendorf meringkaskan asumsi teori fungsionalis (konsensus atau integrasi) yang bertentangan dengan teori konflik, sebagai berikut: Teori Fungsional:
a. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemenelemen yang secara relatif mantap dan stabil.
b. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemenelemen yang terintegrasi dengan baik.
c. Setiap elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai suatu sistem.
Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai diantara para anggotanya.

Teori Konflik:
a. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan;perubahan sosial ada di mana-mana.
b. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada di mana-mana.
c. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.
d. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, teori konflik mengarahkan perhatiannya pada kepentingan-kepentingan kelompok dan orang yang saling bertentangan dalam struktur sosial dan pada cara di mana konflik kepentingan ini menghasilkan perubahan sosial yang terus-menerus.

Sintesis Pendekatan
Oleh karena banyaknya analisa kaum fungsionalis yang melihat bahwa konflik adalah dis-fungsional bagi suatu kelompok, Lewis A. Coser (dalam Poloma, 2000) mencoba mengemukakan kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok. Apakah konflik sumber kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana konflik ditangani, dan yang terpenting tipe struktur di mana konflik itu berkembang.

Konflik dibedakan dengan in-group dan out group, antara nilai-inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran, antara konflik yang menghasiolkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan lewat lembaga-lembaga katup penyelamat (safetyvalve), dan antara konflik pada struktur berjaringan longgar dan struktur berjaringan ketat. Konflik juga bisa dibedakan dengan konflik realistis yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutantuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan, dan non-realistis, yaitu konflik yang hukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak, (Coser dalam Poloma, 2000). Keseluruhan butir-butir tersebut merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Artinya, pendekatan fungsional juga bisa digunakan dalam melihat konflik sebagai suatu proses sosial yang sehat dalam masyarakat.
Continue reading Analisa Sosial

Ahlussunnah Wal Jama'ah (Sebagai Manhaj Fikr)

Info Rayon Sakera -  Ahlussunnah Wal-Jama’ah sebagai Paham Keagamaan. Secara terminologis Ahlussunnah Wal Jama’ah Menurut Syekh Abu al-Fadl ibn Syekh ‘Abdus Syakur al-Senori adalah kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi saw. dan thariqah (jalan) para sahabatnya dalam hal akidah (tauhid), amaliyah fisik (fiqh), dan akhlaq batin (tasawwuf). Syekh ‘Abdul Qodir al-Jailani mendefinisikan Ahlussunnah wal jama’ah sebagai berikut: “Yang dimaksud dengan as-Sunnah adalah apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. (meliputi ucapan, prilaku, serta ketetapan beliau). Sedangkan yang dimaksud dengan pengertian jama’ah adalah segala sesuatu yang yang telah disepakati oleh para sahabat Nabi saw. pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin yang empat yang telah diberi hidayah Allah.”

Secara historis, para imam Aswaja di bidang akidah telah ada sejak zaman para sahabat Nabi saw. sebelum munculnya paham Mu’tazilah. Imam Aswaja pada saat itu di antaranya adalah ‘Ali bin Abi Thalib ra., karena jasanya menentang pendapat Khawarij tentang al-Wa‘d wa al-Wa‘îd dan pendapat Qadariyah tentang kehendak Allah dan daya manusia. Di masa tabi’in ada beberapa imam, mereka bahkan menulis beberapa kitab untuk mejelaskan tentang paham Aswaja, seperti ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz dengan karyanya “Risâlah Bâlighah fî Raddi ‘alâ al-Qadariyah”. Para mujtahid fiqh juga turut menyumbang beberapa karya teologi untuk menentang paham-paham di luar Aswaja, seperti Abu Hanifah dengan kitabnya “Al-Fiqh al-Akbar”, Imam Syafii dengan kitabnya “Fi Tashîh al-Nubuwwah wa al-Radd ‘alâ al-Barâhimah”. Generasi Imam dalam teologi Aswaja sesudah itu kemudian diwakili oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260 H – 324 H), lantaran keberhasilannya menjatuhkan paham Mu’tazilah.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa akidah Aswaja secara substantif telah ada sejak masa para sahabat Nabi saw. Artinya paham Aswaja tidak mutlak seperti yang dirumuskan oleh Imam alAsy’ari, tetapi beliau adalah salah satu di antara imam yang telah berhasil menyusun dan merumuskan ulang doktrin paham akidah Aswaja secara sistematis sehingga menjadi pedoman akidah Aswaja.

Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, istilah Aswaja secara resmi menjadi bagian dari disiplin ilmu keislaman. Dalam hal akidah pengertiannya adalah Asy’ariyah atau Maturidiyah. Istilah Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai suatu paham sebenarnya belum dikenal pada masa al-Asy’ary (260-324 H/873-935 M), tokoh yang dianggap sebagai salah seorang pendiri paham ini. Bahkan para pengikut al-Asy’ary sendiri, seperti al-Baqillani (w. 403 H), alBaghdadi (w. 429 H), al-Juwaini (w. 478 H), al-Ghazali (w. 505 H) juga belum pernahb menyebutkan term tersebut. Pengakuan sewcara eksplisit mengenai adanya paham Aswaja baru dikemukakan oleh az-Zabidi (w. 1205 H) bahwa apabila disebut Ahussunnah Wal Jama’ah maka yang dimaksud adalah pengikut Al-Asy’ari dan AlMaturidi (w. 333 H/944 M).

Lebih lengkap lagi Imam Ibnu Hajar al-Haytami berkata: Jika Ahlussunnah wal jama’ah disebutkan, maka yang dimaksud adalah pengikut rumusan yang digagas oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Dalam fiqh adalah mazhab empat, Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Dalam tasawuf adalah Imam al-Ghazali, Abu Yazid al-Busthomi, Imam Abul Qasim alJunaydi, dan ulama-ulama lain yang sepaham. Semuanya menjadi diskursus Islam paham Ahlussunnah wal jama’ah.

Secara teks, ada beberapa dalil Hadits yang dapat dijadikan dalil tentang paham Aswaja, sebagai paham yang menyelamatkan umat dari kesesatan, dan juga dapat dijadikan pedoman secara substantif.

Dari Abi Hurairah r.a. Sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda, “Terpecah umat Yahudi menjadi 71 golongan. Dan terpecah umat Nasrani menjadi 72 golongan. Dan akan terpecah umatku menjadi 73 golongan. Semuanya masuk neraka kecuali satu.” Berkata para sahabat, “Siapakah mereka wahai Rasulullah?”  Rasulullah saw. Menjawab, “Mereka adalah yang mengikuti aku dan para sahabatku.”

Jadi inti paham Ahlussunnah wal jama’ah (Aswaja) seperti yang tertera dalam teks Hadits adalah paham keagamaan yang sesuai dengan sunnah Nabi saw. dan petunjuk para sahabatnya.

Beberapa Aspek Di dalam Paham Ahlussunnah WalJamaah
Karena secara substansi paham Aswaja adalah Islam itu sendiri, maka ruang lingkup Aswaja berarti ruang lingkup Islam itu sendiri, yakni aspek aqidah, Syari’at, dan akhlaq. Seperti disebutkan oleh para ulama Aswaja, bahwa aspek yang paling krusial di antara tiga aspek di atas adalah aspek aqidah.

1. Aqidah
Aspek ini krusial, karena pada saat Mu’tazilah dijadikan paham keagamaan Islam resmi pemerintah oleh penguasa Abbasiyah, terjadilah kasus mihnah (diterangkan dalam Tarîkh al-Thabariy) yang cukup menimbulkan keresahan ummat Islam. Ketika Imam alAsy’ari tampil berkhotbah menyampaikan pemikiran-pemikiran teologi Islamnya sebagai koreksi atas pemikiran teologi Mu’tazilah dalam beberapa hal yang dianggap bid’ah atau menyimpang, maka dengan serta merta masyarakat Islam menyambutnya dengan positif, dan akhirnya banyak umat Islam menjadi pengikutnya yang kemudian disebut dengan kelompok Asy’ariyah dan terinstitusikan dalam bentuk Madzhab Asy’ari.

Di tempat lain yakni di Samarqand Uzbekistan, juga muncul seorang Imam Abu Manshur al-Maturidi (w. 333 H) yang secara garis besar rumusan pemikiran teologi Islamnya paralel dengan pemikiran teologi Asy’ariyah, sehingga dua imam inilah yang kemudian diakui sebagai imam penyelamat akidah keimanan, karena karya pemikiran dua imam ini tersiar ke seluruh belahan dunia dan diakui sejalan dengan sunnah Nabi saw. serta petunjuk para sahabatnya, meskipun sebenarnya masih ada satu orang ulama lagi yang sepaham, yaitu Imam al-Thahawi (238 H – 321 H) di Mesir. Akan tetapi karya beliau tidak sepopuler dua imam yang pertama. Akhirnya para ulama menjadikan rumusan akidah Imam Asy’ari dan Maturidi sebagai pedoman akidah yang sah dalam Aswaja.

Secara materiil banyak produk pemikiran Mu’tazilah yang, karena metodenya lebih mengutamakan akal daripada nash (Taqdîm al-‘Aql ‘alâ al-Nash), dinilai tidak sejalan dengan sunnah, sehingga sarat dengan bid’ah, maka secara spontanitas para pengikut imam tersebut bersepakat menyebut sebagai kelompok Aswaja, meskipun istilah ini bahkan dengan pahamnya telah ada dan berkembang pada masa-masa sebelumnya, tetapi belum terinstitusikan dalam bentuk mazhab. Karena itu, secara historis term aswaja baru dianggap secara resmi muncul dari periode ini. Setidaknya dari segi paham telah berkembang sejak masa ‘Ali bin Abi Thalib r.a., tetapi dari segi fisik dalam bentuk mazhab baru terbentuk pada masa alAsy’ari, al-Maturidi, dan al-Thahawi.

2. Syari’at
Ruang lingkup yang kedua adalah syari’ah atau fiqh, artinya paham keagamaan yang berhubungan dengan ibadah dan mu’amalah. Sama pentingnya dengan ruang lingkup yang pertama, yang menjadi dasar keyakinan dalam Islam, ruang lingkup kedua ini menjadi simbol penting dasar keyakinan. Karena Islam agama yang tidak hanya mengajarkan tentang keyakinan tetapi juga mengajarkan tentang tata cara hidup sebagai seorang yang beriman yang memerlukan komunikasi dengan Allah S.W.T., dan sebagai makhluk sosial juga perlu pedoman untuk mengatur hubungan sesama manusia secara harmonis, baik dalam kehidupan pribadi maupun sosial. Yang dimaksud dengan ibadah adalah tuntutan formal yang berhubungan dengan tata cara seorang hamba berhadapan dengan Tuhan, seperti shalat, zakat, haji, dan sebagainya. Adapun yang dimaksud dengan muâmalah adalah bentuk ibadah yang bersifat sosial, menyangkut hubungan manusia dengan sesama manusia secara horisontal, misalnya dalam hal jual beli, pidana-perdata, social-politik, sains dan sebagainya. Yang pertama disebut habl min Allâh (hubungan manusia dengan Allah), dan yang kedua disebut habl min al-nâs (hubungan manusia dengan manusia).

Dalam konteks historis, ruang lingkup yang kedua ini disepakati oleh jumhur ulama bersumber dari empat mazhab, yakni Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali. Secara substantif, ruang lingkup yang kedua ini sebenarnya tidak terbatas pada produk hukum yang dihasilkan dari empat madzhab di atas, produk hukum yang dihasilkan oleh imam-imam mujtahid lainnya, yang mendasarkan penggalian hukumnya melalui al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas, seperti, Hasan Bashri, Awzai, dan lain-lain tercakup dalam lingkup pemikiran Aswaja, karena mereka memegang prinsip utama Taqdîm al-Nash ‘alâ al-‘Aql (mengedepankan daripada akal).

3. Akhlaq
Ruang lingkup ketiga dari Aswaja adalah akhlak atau tasawuf. Wacana ruang lingkup yang ketiga ini difokuskan pada wacana akhlaq yang dirumuskan oleh Imam al-Ghazali, Abu Yazid alBusthami, dan al-Junayd al-Baghdadi, serta ulama-ulama sufi yang sepaham.

Ruang lingkup ke-tiga ini dalam diskursus Islam dinilai penting karena mencerminkan faktor ihsan dalam diri seseorang. Iman menggambarkan keyakinan, sedang Islam menggambarkan syari’ah, dan ihsan menggambarkan kesempurnaan iman dan Islam. Iman ibarat akar, Islam ibarat pohon. Artinya manusia sempurna, ialah manusia yang disamping bermanfaat untuk dirinya, karena ia sendiri kuat, juga memberi manfaat kepada orang lain (transformasi kesholehan individuan menuju kesholehan sosial). Ini yang sering disebut dengan insan kamil. Atau dalam istilah lain disebut dengan three principles of human life Kalau manusia memiliki kepercayaan tetapi tidak menjalankan syari’at, ibarat akar tanpa pohon, artinya tidak ada gunanya. Tetapi pohon yang berakar dan rindang namun tidak menghasilkan buah, juga kurang bermanfaat bagi kehidupan. Jadi ruang lingkup ini bersambung dengan ruang lingkup yang kedua, sehingga keberadaannya sama pentingnya dengan keberadaan ruang lingkup yang pertama dan yang kedua, dalam membentuk insan kamil.

4. Substansi Ajaran Nabi dalam Ahlussunnah Wal Jama’ah
Secara esensial ajaran Aswaja adalah ajaran Islam, sebab berdasarkan Hadits di atas bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok yang mengikuti sunnah rasul dan para sahabatnya yakni ajaran-ajaran yang dibawa oleh Nabi dan yang dilanjutkan oleh para sahabatnya. Maka untuk memahami Aswaja, sangatlah perlu untuk melihat bagaimana sebenarnya latar belakang Islam itu muncul dan apa saja ajaran yang diberikan oleh Nabi. Hal ini bukanlah semata sebagai sebagai upaya untuk mengindikasikan adanya truth claim, akan tetapi secara arif untuk memberikan pemahaman yang lebih komprehensif mengenai pemaknaan ajaran Islam itu sendiri dan menjelajahi kembali tentang bagaimana relevensinya terhadap kelompok-kelompok yang sering mengaku dirinya sebagai kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Terlepas dari pemaknaan secara formal, Islam tidak lahir dari sebuah ruang hampa. Ada beberapa latar belakang yang menjadi penyebab mengapa agama samawi tersebut turun. Factor yang paling dominan adalah sosio-kultural tempat di mana ia turun yakni di semenanjung Arabia. Di tempat gersang dengan perilaku masyarakatnya yang jahil inilah diutus seorang agung keturunan Quraisy Muhammad SAW.

Fakta bahwa Islam lebih dari sekedar sebuah agama formal, tetapi juga risalah yang agung bagi transformasi social dan tantangan bagi kepentingan-kepentingan pribadi, dibuktikan oleh penekanannya pada sholat dan zakat. Di mana masing-masing rukun tersebut melambangkan adanya kesetaraan social dan keadilan.

Nabi Muhammad, dengan inspirasi wahyu ilahiyah menurut formulasi teologis, mengajukan sebuah alternatif tatanan social yang adil dan tidak eksploitatif serta menentang penumpukan kekayaan di tangan segelintir orang. Hal inilah yang menjadi factor utama mengapa Islam pada saat itu tidak dapat diterima oleh beberapa petinggi di Makkah. Harus dicatat, kaum hartawan Makkah bukan tidak mau menerima ajaran-ajaran keagamaan Nabi sebatas ajaranajaran tentang penyembahan kepada satu Tuhan (Tauhid). Hal itu bukanlah sesuatu yang merisaukan mereka. Akan tetapi, yang merisaukan mereka justru pada implikasi-implikasi social-ekonomi dari risalah nabi itu. Hal ini menunjukkan bahwa pada dasarnya ajaran Islam mengedepankan kesetaraan social dan keadilan dalam ekonomi.

Di Madinah, terlepas dari perdebatan apakah Nabi membentuk sebuah Negara Islam ataupun tidak, semuanya sepakat bahwa Beliau telah memperhatikan konsep masyarakat politik secara serius untuk menciptakan suatu organ yang dapat diterima semua pihak guna menangani semua urusan yang ada di kota tersebut. Pada saat itu Madinah adalah kota yang terdiri dari beberapa suku, ras dan agama. Dapat dikatakan bahwa masyarakat Madinah adalah masyarakat Plural yang tidak jauh beda dengan masyarakat Negara-negara modern saat ini.

Nabi membuat masyarakat politik di Madinah berdasarkan consensus dari kelompok dan dan suku yang dikenal dengan “Piagam Madinah”. Dokumen ini meletakkan dasar bagi komunitas politik di Madinah dengan segala perbedaan yang ada dengan menghormati kebebasan untuk mengamalkan agama dan keyakinan mereka masing-masing. Dapat kita simpulkan bahwa dakwah Nabi lebih ditekankan pada consensus dari beberapa kelompok dan tidak pada paksaan ataupun kekerasan. Hal ini juga merupakan prinsip dasar ajaran Islam, yakni kebebasan.

Kemudian kasus yang sering terjadi, .sebagian Muslim, yang karena memiliki iman tebal tetapi kurang dibarengi dengan pemahaman mendalam atas prinsip dasar Islam acapkali menyimpulkan bahwa, dakwah yang dilakukan bias dengan jalan kekerasan. Kemudian logikanya diteruskan dengan memerangi orang kafir yang sudah dikelirukan sebagai orang di luar Islam. Pemaknaan semacam ini sudah jelas adalah pemahaman yang menyimpang dari fitrah Islam dan ajaran Nabi Muhammad SAW. Intinya bahwa Islam bukanlah agama anarkis, Islam adalah agama fitrah. Kang Said mengatakan bahwa ada beberapa prinsip universal yang perlu diperhatikan dalam ajaran Islam yakni; (1) alnafs (jiwa/nyawa manusia), (2) al-maal (harta kekayaan), (3) al-aql (akal/ kebebasan berpikir), (4) al-nasl (keturunan/jaminan keluarga), (5) al-‘ardl (kehormatan/ jaminan profesi).Dengan prinsip Islam di atas kita akan lebih bisa memahami bagaimana seharusnya citra diri seorang Muslim dan bagaimana Islam itu didakwahkan. Sehingga kita akan lebih arif dalam memilih dan memilah ajaran Islam yang seperti apakah yang sesuai dengan ajaran Nabi dan lebih singkatnya “yang mana sih yang Ahlussunnah Wal Jama’ah ???”

Tetapi Perlu diingat bahwa Diskursus mengenai Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA) sebagai bagian dari kajian ke-Islaman merupakan upaya untuk mendudukkan aswaja secara proporsional, bukannya semata-mata untuk mempertahankan sebuah aliran atau golongan tertentu yang mungkin secara subyektif kita anggap baik karena rumusan dan konsep pemikiran teologis yang diformulasikannya. Kesemuanya sangat dipengaruhi oleh suatu problem teologis pada masanya dan mempunyai sifat dan aktualisasinya tertentu.

Ahlussunnah Wal Jama'ah Sebagai MetodologiBerpikir
Sebenarnya Aswaja sebagai Manhajul Fikr secara eksplisit- meskipun sedikit berbeda terminologi- sudah dikenal dalam tubuh Nahdlotoel Oelama. Aswaja yang seperti ini digunakan sebagai metode alternatif  untuk menyelesaikan suatu masalah keagamaan ketika dua metode sebelumnya yakni metode Qauly dan Ilhaqy tidak dapat menyelesaikan problem keagamaan tersebut. Di NU sendiri metode seperti ini terkategorikan sebagai salah satu metode bermadzhab dan disebut dengan metode Manhajy yang menurut Masyhuri adalah suatu cara menyelesaikan masalah keagamaan yang ditempuh Lajnah Bahtsul Masa’il dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan hukum yang telah disusun imam madzhab.

Pada kenyataannya Aswaja tidak hanya dapat dimaknai sebagai ajaran teologis saja, karena problem yang dihadapi oleh umat saat ini tidaklah sesederhana dan se-simple periode Islam terdahulu. Lebih luasnya Aswaja dapat ditransformasikan ke dalam aspek ekonomi, politik, dan social. Pemaknaan seperti ini berangkat dari kesadaran akan kompleksitas masalah di masa kini yang tidak hanya membutuhkan solusi bersifat konkret akan tetapi lebih pada solusi yang sifatnya metodologis, sehingga muncul term Aswaja sebagai Manhajul Fikr (metode berpikir).

Sebagai upaya ‘kontektualisasi’ dan aktualisasi aswaja tersebut, rupanya perlu bagi PMII untuk melakukan pemahaman metodologis dalam menyentuh dan mencoba mengambil atau menempatkan Aswaja sebagai ‘sudut pandang/perspektif’ dalam rangka membaca realitas Ketuhanan, realitas manusia dan kemanusiaan serta realitas alam semesta.

Namun tidak hanya berhenti sampai disitu , Aswaja sebagai Manhajul Fikri harus bisa menjadi ’busur’ yang bisa menjawab berbagai macam realitas tersebut sebagai upaya mengkontekstualisasikan  ajaran Islam sehingga benar-benar bisa membawa Islam sebagai rohmatan Lil Alamin, dengan tetap memegang  empat prinsip dasar  Aswaja , yaitu :
1. Tawasuth
Moderat, penengah . Selalu tampil dalam upaya untuk menjawab tantangan umat dan sebagai bentuk semangat ukhuwah sebagai prinsip utama dalam memanivestasikan paham Aswaja. Mengutip Maqolah Imam Ali Ibn Abi Thalib R.A.;
“kanan dan kiri itu menyesatkan, sedang jalan tengah adalah jalan yang benar”
2. Tawazun
Penyeimbang. Sebuah prinsip istiqomah dalam membawa nilainilai aswaja tanpa intervensi dari kekuatan manapun, dan sebuah pola pikir yang selalu berusaha untuk menuju ke titik pusat ideal (keseimbangan)
3. Tasamuh
Toleransi, sebuah prinsip yang fleksibelitas dalam menerima perbedaan, dengan membangun sikap keterbukaan dan toleransi. Hal ini lebih diilhami dengan makna  “lakum dinukum waliyadin” dan “walana a’maluna walakum a’maluku”, sehingga metode berfikir ala aswaja adalah membebaskan, dan melepaskan dari sifat egoistik dan sentimentil pribadi ataupun bersama.
4. Al-I’tidal
Kesetaraan/Keadilan, adalah konsep tentang adanya proporsionalitas yang telah lama menjadi metode berfikir ala aswaja. Dengan demikian segala bentuk sikap amaliah, maqoliah dan haliah harus diilhami dengan visi keadilan.

Empat prinsip dasar tersebut adalah solusi metodis  yang diberikan Aswaja. Dengan metode ini problem-problem dari realitas masa kini sangat mungkin untuk menemukan solusi. Dan yang terpenting adalah empat prinsip tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran Nabi Muhammad SAW, dan justru merupakan prinsip-prinsip dasar Universalitas ajaran Islam sebagai rohmatan Lil Alamin.
Continue reading Ahlussunnah Wal Jama'ah (Sebagai Manhaj Fikr)

Sejarah Perkembangan PMII

Info Rayon Sakera - Melihat dari historitas PMII. Sejarah masa lalu adalah cermin masa kini dan masa mendatang. Dokumen historis, merupakan instrumen penting untuk membaca diri. Tidak terkecuali PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia). Meski dokumen yang disajikan dalam tulisan ini terbilang kurang komplit, sosok organisasi mahasiswa tersebut sudah tergambar dengan jelas. Berikut pemikiran dan sikapsikapnya.

PMII, yang sering kali disebut Indonesian Moslem Student Movement atau Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, adalah anak  cucu NU (Nahdlatul Ulama) yang terlahir dari kandungan Departemen Perguruan Tinggi Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) yang juga anak dari NU. Status anak cucu ini pun diabadikan dalam sebuah dokumen yang dibuat di Surabaya, tepatnya di Taman Pendidikan Putri Khadijah pada tanggal 17 April 1960 bertepatan dengan tanggal 21 Syawal 1379 H.

Meski begitu, bukan berarti lahirnya PMII berjalan mulus, banyak sekali hambatan dan rintangan yang dihadapinya. Hasrat untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan memang sudah lama bergejolak di kalangan pemuda NU, namun pihak PBNU belum memberikan lampu hijau (green light), mereka menganggap belum perlu adanya suatu organisasi tersendiri untuk mewadahi anak-anak NU yang belajar di Perguruan Tinggi.

Namun semangat anak-anak muda itu tak pernah kendor, bahkan terus berkobar dari kampus ke kampus. Kondisi ini adalah hal yang niscaya mengingat kondisi sosial politik pada dasawarsa ‘50-an memang sangat memungkinkan untuk melahirkan organisasi baru. Banyak organisasi mahasiswa bermunculan di bawah payung induknya, seperti SEMMI (dengan PSII), KAMMI (dengan PERTI), HMI (lebih dekat ke MASYUMI), IMM (dengan Muhammadiyah), dan HIMMAH (dengan al-Washliyah). Wajar jika anak-anak NU khususnya yang berada di perguruan tinggi kemudian ingin mendirikan wadah sendiri dan bernaung di bawah panji dunia. Di Jakarta pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) yang dipelopori oleh Wa’il Harits Sugianto.Sedangkan di Surakarta berdiri KMNU (Keluarga Mahasiswa Nahdhatul Ulama) yang dipelopori oleh Mustahal Ahmad.

Namun keberadaan kedua organisasi mahasiswa tersebut tidak direstui bahkan ditentang oleh Pimpinan Pusat IPNU dan PBNU dengan alasan IPNU baru saja berdiri dua tahun sebelumnya yakni tanggal 24 Februari 1954 di Semarang. IPNU punya kekhawatiran jika IMANU dan KMNU akan memperlemah eksistensi IPNU. Di antara sekian banyak pertimbangannnya antara lain; kekhawatiran PBNU terhadap waktu, sumber daya manusia, pembagian tugas, dan efektifitas organisasi. Karenanya menjadi wajar kalau pengurus PBNU monolak karena takut terjadi rangkap jabatan dimana akan berdampak terbengkalainya sebagian yang lain dalam kinerjanya.

Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU muncul kembali pada Muktamar II IPNU di Pekalongan (1-5 Januari 1957). Gagasan ini pun kembali ditentang karena dianggap akan menjadi pesaing bagi IPNU. Sebagai langkah kompromis atas pertentangan tersebut, maka pada muktamar III IPNU di Cirebon (27-31 Desember 1958) dibentuk Departemen Perguruan Tinggi IPNU yang diketuai oleh Isma’il Makki (Yogyakarta). Namun dalam perjalanannya antara IPNU dan Departemen PT-nya selalu terjadi ketimpangan dalam pelaksanaan program organisasi. Hal ini disebabkan oleh perbedaan cara pandang yang diterapkan oleh mahasiswa dan dengan pelajar yang menjadi pimpinan pusat IPNU. Disamping itu para mahasiswa pun tidak bebas dalam melakukan sikap politik karena selalu diawasi oleh PP IPNU.

Baru setelah wadah "departemen" itu dinilai tidak efektif, tidak cukup kuat untuk menampung aspirasi mahasiswa NU, hal ini kemudian menjadi gagasan legislasi untuk mendirikan organisasi mahasiswa NU kembali. Tepat pada konferensi besar IPNU I (14-16 Maret 1960 di Kaliurang) merupakan puncak dari semua ambisi tersebut. Hasil dari konfrensi tersebut ialah kesepakatan mendirikan organisasi sendiri. Selain memutuskan akan perlu didirikannya organisasi khusus di perguruan tinggi konfrensi tersebut juga menghasilkan keputusan penunjukan tim perumus pendirian organisasi yang terdiri dari 13 orang tokoh mahasiswa NU dengan jangkah waktu kerja 1 bulan, adapun 13 tokoh mahasiswa NU tersebut diataranya:
1. A. Khalid Mawardi (Jakarta)
2. M. Said Budairy (Jakarta)  
3. M. Sobich Ubaid (Jakarta)  
4. Makmun Syukri (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. Ismail Makki (Yogyakarta)
7. Munsif Nakhrowi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suaidi (Surakarta)
9. Laily Mansyur (Surakarta)
10. Abd. Wahhab Jaelani (Semarang)
11. Hizbulloh Huda (Surabaya)
12. M. Kholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Hussein (Makassar)

Keputusan lainnya adalah tiga mahasiswa yaitu Hizbulloh Huda, M. Said Budairy, dan Makmun Syukri untuk sowan ke Ketua Umum PBNU kala itu, KH. Idham Kholid.
Bertepatan dengan itu, Ketua Umum PBNU, KH. Idham Cholid, memberikan lampu hijau (green light). Bahkan KH. Idham Cholid membakar semangat pula agar mahasiswa NU menjadi kader partai, menjadi mahasiswa yang berprinsip ilmu untuk diamalkan, bukan ilmu untuk ilmu.

Selanjutnya pada tanggal 14-16 April 1960 diakan musyawarah Mahasiswa NU di sekolah Mualimat NU (1954-1960) yang sekarang bernama Yayasan Khadijah Surabaya. Adapun hasil dari musyawarah tersebut ialah; 1. Disepakati berdirinya organisasi Mahasiswa NU yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, 2. PMII merupakan lanjutan dari departemen Perguruan Tinggi IPNU-IPPNU (Wildy Sulthon Baidlowi, PC PMII Surabaya Online), 3. Menyatakan bahwa PMII lahir pada tanggal 17 April 1960, 4. Membentuk tiga orang formatur yaitu H. Mahbub Djunaidi sebagai Ketua Umum, A. Cholid Mawardi sebagai Ketua I, dan M. Said Budairy sebagai Sekretaris Umum PB PMII Pertama. Selanjutnya susunan pengurus pusat PMII periode pertama ini baru terbentuk pada bulan Mei 1960 lewat kandungan Departemen Perguruan Tinggi IPNU. Dan bayi yang baru lahir itu diberi nama “Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia” (PMII).

Dengan demikian, ide dasar bendirinya PMII adalah murni dari anak-anak muda NU sendiri. Selanjutnya, harus bernaung di bawah panji NU, itu bukan berarti sekedar pertimbangan praktis temporal, misalnya karena kondisi politik saat itu yang nyaris menciptakan iklim dependensi sebagai suatu kemutlakan. Lebih dari itu, keterikatan PMII pada NU memang sudah terbentuk dan memang sengaja dibangun atas dasar kesamaan nilai, kultur, akidah, cita-cita, bahkan pola berpikir, bertindak, dan berperilaku. 

PMII Dalam Makna
Mengenai makna PMII sendiri mulai dari kata “PERGERAKAN”. Makna kata tersebut bagi PMII melambangkan dinamika dari hamba (makhluk) yang senantiasa bergerak menuju tujuan idealnya memberikan rahmat bagi alam sekitarnya. Adalah, bahwa mahasiswa merupakan insan yang sadar untuk membina dan mengembangkan potensi ke-Tuhanan dan kemanusiaan, agar gerak dinamika menuju tujuannya selalu berada di dalam kualitas tinggi yang mempunyai identitas dan eksistensi diri sebagai Kholifah fil Ardh. Dalam konteks individual, komunitas, maupun organisasi, kiprah PMII harus senantiasa mencerminkan pergerakannya menuju kondisi yang lebih baik sebagai perwujudan tanggung jawab memberikan rahmat pada lingkungannya.

“MAHASISWA” yang terkandung dalam PMII menunjuk pada golongan generasi muda yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang mempunyai kebebasan dalam berpikir, bersikap, dan bertindak kritis terhadap kemapanan struktur yang menindas. Di samping itu, mahasiswa ala PMII adalah sebagai insan religius, insan akademik, insan social, dan insan mandiri.

“ISLAM” adalah Islam sebagai agama pembebas atas ketimpangan sistem yang ada terhadap fenomena realitas sosial dengan paradigma Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yang melihat ajaran agama Islam dengan konsep pendekatan yang proporsional antara Iman, Islam, dan Ihsan. Hal ini tercermin dalam pola pikir dan perilaku yang selektif, akomodatif, dan integratif.

“INDONESIA” adalah masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia yang mempunyai falsafah, ideologi bangsa (Pancasila) dan UUD ‘45 dengan kesadaran akan keutuhan bangsa serta mempunyai kesadaran berwawasan nusantara.  

Formulasi dan Orientasi Gerakan PMII  
PMII pada awal terbentuknya merupakan gerakan underbow NU baik secara struktural atau secara fungsionalnya. Karena memang kondisi dan situasi politik pada waktu itu masih panas. Organisasi-organisasi mahasiswa yang berafiliasi pada partai politik sepenuhnya menyokong dan mendukung kemenangan partai. Karenanya, gerakan PMII pada waktu itu masih sangat terasa berbau politik praksis. Hal ini terjadi sampai tahun 1972. Keterlibatan PMII dalam politik praksis pada tahun 1971 berakibat kemunduran dalam aspek gerakan. Kondisi ini kemudian membawa penyadaran akan perlunya mengkaji ulang orientasi gerakan PMII selama ini, khususnya keterlibatan-keterlibatan dalam politik praksis.

Setelah melalui beberapa perbincangan maka pada musyawarah besar tanggal 14-16 Juli 1972, PMII mencetuskan deklarasi independen di Malang, Jawa Timur. Deklarasi ini kemudian dikenal dengan deklarasi MURNAJATI. Setelah itu PMII sacara formal-struktural terpisah dengan NU, kemudian PMII membuka akses sebesar-besarnya sebagai organisasi yang independen tanpa berpihak pada parpol apapun. Independensi gerakan ini terus dipertahankan dan dipertegas dalam “Penegasan Cibogo” pada tanggal 8 Oktober 1989. Bentuk independensi merupakan respon terhadap pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai-ilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai dengan ajaran Islam, Aswaja.

Kemudian pada kongres X PMII pada tanggal 27 Oktober 1991 di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, memutuskan untuk mempertegas kembali hubungan PMII-NU dengan melahirkan pernyataan “Independensi PMII-NU”, penegasan ini berdasarkan pada pokok pikiran berikut:
a. Adanya ikatan historis antara PMII dengan NU. Keorganisasian PMII yang independen hendaknya tidak dipahami secara sempit sebagai upaya untuk mengurangi atau menghapuskan ikatan historis tersebut.
b. Adanya kesamaan paham keagamaan dan kebangsaan. Bagi PMII dan NU, keutuhan komitmen ke-Islaman dan Ke-Indonesiaan merupakan perwujudan beragama dan berbangsa bagi setiap muslim Indonesia.

Isi Deklarasi Murnajati Deklarasi Murnajati
Bismillāhirrahmānirrahīm

"Kamu sekalian adalah sebaik-baik ummat yang dititahkan kepada manusia untuk memerintahkan kebaikan dan mencegah perbuatan yang mungkar".

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin serta bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya.

Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan insan-insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta tanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selaku generasi muda Indonesia, sadar akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Bahwa perjuangan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan idealisme sesuai dengan jiwa Deklarasi Tawangu menurut perkembangannya merupakan sifat-sifat kreatif, keterbukaan dalam sikap dan pembinaan rasa bertanggung jawab.

Berdasarkan petimbangan di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia memohon rahmat Allah Swt., dengan ini menyatakan diri sebagai Organisasi ”independen” yang tidak terikat tindakannya kepada siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila.

Tim Perumus Deklarasi Murnajati
1. Umar Basalim (Jakarta)
2. Madjidi Syah (Bandung) 
3. Slamet Efendi Yusuf (Yogyakarta)
4. Man Muhammad Iskandar (Bandung)
5. Choirunnisa Yafzham (Medan)
6. Tatik Farichah (Surabaya)
7. Rahman Idrus
8. Muis Kabri (Malang)

Musyawarah Besar PMII Ke-2 di Murnajati Malang Jawa Timur tanggal 14 Juli 1972

Isi Penegasan Cibogo   
Penegasan Cibogo 
Bismillāhirrahmānirrahīm 
Bahwa INDEPENDENSI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan sikap organisasi menjadi ketetapan Kongres V Tahun 1973 sebagai pengukuan terhadap Deklarasi MURNAJATI di Mubes III, 14 juli 1972 di Murnajati Malang Jawa Timur.

Bahwa INDEPENDENSI Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan manifestasi dari kesadaran organisasi terhadap tuntutan kemandirian, kepeloporan, kebebasan berpikir, dan berkreasi, serta bertanggung jawab sebagai kader, ummat dan bangsa.

Bahwa ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia merupakan upaya merespon pembangunan dan modernitas bangsa, dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral serta idealisme yang dijiwai oleh ajaran Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia periode 1989-1990, setelah melakukan kajian kritis dan dengan memohon rahmat Allah SWT. menegaskan kembali bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia adalah organisasi independen yang tidak terikat dalam sikap dan tindakannya kepada siapapun dan hanya komitmen dengan perjuangan organisasi dan cita-cita perjuangan nasional yang berlandaskan Pancasila, dan terus mengaktualisasikan dalam hidup berorganisasi, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Wallāhul-muwaffiq ilā Aqwāmith-thāriq 

Medan, Rapat Pleno IV PB PMII, Cibogo 8 Oktober 1989  
Manifest Independen Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia
Bismillāhirrahmānirrahīm

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia insaf dan yakin serta bertanggung jawab terhadap masa depan kehidupan bangsa yang sejahtera, selaku penerus perjuangan dalam rangka mengisi kemerdekaan Indonesia dengan pembangunan material dan spritual, bertekad untuk mempersiapkan dan mengembangkan diri dengan sebaik-baiknya.Bahwa pembangunan dan pembaharuan mutlak diperlukan insan-insan Indonesia yang memiliki pribadi luhur, taqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta tanggung jawab dalam mengamalkan ilmu pengetahuan.

Bahwa Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia selaku generasi muda Indonesia, sadar akan peranannya untuk ikut serta bertanggung jawab bagi berhasilnya pembangunan yang dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.

Bahwa pada dasarnya pengisian kemerdekaan adalah didukung oleh kemampuan intelektual manusiawi dengan sosialisasi ilmu ke sikap kultural guna mengangkat martabat dan derajat bangsa.Bahwa pada hakekatnya ”independensi” sebagaimana telah dideklarasiakan di MURNAJATI adalah merupakan manifestasi keadaan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang meyakini sepenuhnya terhadap tuntutan-tuntutan keterbukaan sikap, kebebasan berpikir dan pembangunan kreativitas yang dijiwai oleh nilai-nilai ajaran Islam.

Bahwa ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia dimaksudkan dalam mendinamisasi dan mengembangkan potensi kultural yang bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam untuk terbentuknya pribadi luhur dan bertaqwa kepada Allah, berilmu dan cakap serta bertanggung jawab dalam perjuangan nasional berdasarkan Pancasila.Bahwa dengan ”independensi” Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, tersedia adanya kemungkinan-kemungkinan alternatif yang lebih lengkap lagi bagi cita-cita perjuangan organisasi yang berlandaskan Islam dan berhaluan Ahlussunnah Wal Jama'ah.

Medan, Kongres V PMII Ciloto Jawa Barat Tanggal 28 Desember 1973 

Pola-Pola Kepemimpinan PMII
Pola-pola kepemimpinan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia harus tercermin/menjamin terlaksananya cita-cita perjuangan organisasi dengan dijiwai oleh isi: "Deklarasi Murnajati".

Konsekuensi dari pendirian tersebut di atas menurut dikembangkannya pola-pola kepemimpinan yang bersifat kerakyatan dengan berorientasikan kepada masalah-masalah kemahasiswaan, kampus, dan pembangunan bangsa. Oleh karenanya diperlukan pemimpim-pemimpin organisasi yang memiliki ciri-ciri kemahasiswaan seperti dinamis, kreatif, responsif, dan peka terhadap problem-problem kemasyarakatan.

Dengan pemahaman sepenuhnya terhadap azas, sifat, dan tujuan PMII serta kemampuan managerial, leadership, menjadi tuntunan mutlak bagi kepemimpinan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia.

Oleh karenanya Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia yang independen harus menjauhkan seluruh kemungkinan yang akan mengurangi makna dari independensi tersebut, seperti perangkapan jabatan pengurus PMII dengan partai atau organisasi lain atau menjadi wakil organisasi lain pada badan-badan legislatif. Medan, Kongres V PMII,  Ciloto Jawa Barat Tanggal 28 Desember 1973.

Deklarasi Interdependensi PMII-NU
Bismillāhirrahmānirrahīm

1. Sejarah telah membuktikan bahwa PMII adalah dilahirkan dari pergumulan mahasiswa yang bernaung di bawah kebesaran NU, dan sejarah juga telah membuktikan bahwa PMII telah menyatakan idependensinya melalui Deklarasi MURNAJATI tahun 1972.
2. Kerangka berpikir, perwatakan, dan sikap sosial antara PMII dengan NU mempunyai persamaan, karena dibungkus pemahaman Islam ala Ahlussunnah wal Jama'ah.
3. PMII insaf dan sadar bahwa dalam melakukan perjuangan diperlukan untuk saling tolong menolong, "ta'āwanū ‘alal-birri wattaqwā", Ukhuwah Islamiyah (izzul Islam wal muslimin) serta harus mencerminkan "mabādi khoiru ummah" (prinsip-prinsip umat yang baik), karena itulah PMII siap melakukan kerjasama.
4. PMII insaf dan sadar bahwa arena dan lahan perjuangannya adalah sangat banyak dan bervariasi sesuai dengan nuansa usia, jaman, dan bidang garapannya.

Karena antara PMII dan NU mempunyai persamaanpersamaan di dalam persepsi keagamaan dari perjuangan, visi sosial dan kemasyarakatan, ikatan historis, maka untuk menghilangkan keragu-raguan, ketidakmenentuan serta rasa saling curiga, dan sebaliknya untuk menjalin kerja sama program secara kualitatif dan fungsional, baik secara program nyata maupun penyiapan sumber daya manusia, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia menyatakan siap untuk menigkatkan kualitas hubungan dengan NU atas dasar prinsip kedaulatan organisasi penuh, INTERDEPENDENSI, dan tidak ada intervensi secara struktural-kelembagaan, serta prinsip mengembangkan masa depan Islam Ahlussunnah wal Jama'ah di Indonesia.


Kongers X  PB  PMII

Pondok Gede Jakarta, Tanggal 27 Oktober 1991


Wacana Penentuan Paradigma Gerakan Mahasiswa bersama PMII


Oleh: Tirmidi 

Abstrak Dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara telah menyebabkan masyarakat memiliki peluang-peluang untuk melakukan penyaluran aspirasi dan kontrolnya terhadap penyelenggara negara melalui berbagai saluran yang ada. Kondisi ini menyebabkan hilangnya posisi dan peran mahasiswa  Indonesia sebagai kelompok tengah yang selama berpuluh tahun telah dinikmatinya.  Hilangnya peran sebagai middle man ini kemudian mahasiswa berada pada posisi “ada” tapi tidak dibaca. Kondisi ini sebangun dengan posisi hamzah washal ber-harakah sukn dalam kaidah Bahasa Arab. Tidak boleh tidak, paradigma baru harus segera dirumuskan. Tawaran paradigma yang dapat dijadikan pemikiran awal ialah perubahan dari hamzah washal menjadi hamzah qatha’ (hamzah yang tertulis dan terbaca keberadaannya pada setiap posisi) yang secara aplikatif dirumuskan sebagai peneguhan karakter: Mahasiswa adalah Calon Profesional, dan Calon Pemimpin. Untuk itu, tawaran paradigma untuk PMII ialah Lembaga Pengkaderan Calon Pemimpin Bertauhid, dan Calon Pemimpin Karismatik.

Hantaran berdasarkan pengamatan terbatas yang dapat penulis alami dan penulis rasakan, gerakan mahasiswa, khususnya PMII, masih kental dengan romantisme gerakan mahasiswa tahun 90-an, yang lengkap dengan segala aroma bahadur atau heroismenya. Nuansa perjuangan, dan semangat yang diusung masih dilingkupi oleh atmosfer posisi dan peran mahasiswa sebagai middle man, culture broker, perantara, penyambung aspirasi, atau parlemen jalanan; suatu posisi dan peran mulia dari mahasiswa dalam masyarakat Indonesia yang memang cocok dan dibutuhkan oleh masyarakat hingga akhir tahun 90-an. Penulis berani menyatakan bahwa posisi dan peran mahasiswa yang seperti itu memang cocok dan memang dibutuhkan oleh masyarakat karena hingga akhir tahun 90-an negara ini memang diwarnai oleh kebijakan-kebijakan yang sengaja menyumbat saluran komunikasi dan saluran aspirasi masyarakat melalui pendekatan sentralistik, dan militeristik dalam pengelolaan negara, dan pendekatan represif dalam pemeliharaan keamanan.

Pendekatan sentralistik dikejawantahkan mulai dari pembentukan opini hingga aplikasi teknis dalam pengelolaan negara. Fenomena ini secara gamblang dapat dilihat melalui tersentralnya tafsir atas UUD, P4, GBHN, dan peraturan-peraturan yang ada sedemikian sehingga perbedaan pendapat akan langsung diberikan stigma-stigma sebagai agen dari organisasi terlarang. Penyeragaman opini ini kemudian diwujudkan secara lebih jelas melalui penerbitan buku-buku yang memiliki opini senada, dan pelarangan atas buku-buku yang memiliki opini berbeda, dan sumir.

Secara aplikatif dan teknis penyelenggaraan negara, dapat kita inventarisir betapa sentralistiknya negara kita saat itu dalam hal pengelolaan sumberdaya alam, terutama dalam  pengambilan keputusan teknis tentang siapa akan mengelola apa. Sampai-sampai, saat itu, trias politika tidak lagi dapat dilihat efektifitas keberadaan dan fungsinya karena pilar penyelenggara negara telah tergerus tinggal eksekutif saja, itu pun pengambil keputusannya  tidak beralamat di Istana Negara melainkan di tempat lain, di sebuah kawasan elit dan sakral di Jakarta.

Untuk mendukung dan menjamin efektifitas capaiancapaian sentralistik ini, negara kemudian memberlakukan kebijakankebijakan yang dipandang lebih gampang untuk diseragamkan komandonya. Tidak heran, saat itu, sebisa mungkin pemegang jabatan strategis pada tingkat menteri, kepala BUMN, gubernur, bupati, camat, dan lurah dilakukan dengan proses penunjukan. Prioritas utama adalah pada kalangan yang gampang dikomando, atau orang yang bangunan mindset-nya sudah berada pada level aman. Kalau terpaksa tidak ada, maka yang dipilih adalah orang yang dekat, kenal, dan dapat dipercaya loyalitasnya kepada penghuni sebuah alamat di Jakarta tersebut. Aroma seperti ini merebak mulai dari gedung dewan, terdapatnya ”sekretariatsekretariat” dan personil yang berfungsi mengawasi dan mengendalikan keamanan negara, mulai dari level nasional hingga desa-desa.

Dengan lebih mengedepankan pendekatan represif (sebagai lawan dari pendekatan kesejahteraan) dalam menjaga keamanan, maka lengkaplah teror oleh negara terhadap masyarakat saat itu. Melalui perspektif penjagaan keamanan negara yang lebih mengedepankan security approach, yakni protes, atau bahkan sekedar berbeda pendapat dengan opini resmi pemerintah  adalah makar sebelum bisa dibuktikan bahwa tidak demikian adanya) maka pengambilan tindakan pencegahan (preventive), berupa penjemputan tanpa surat penahanan, interogasi, penahanan, dan bahkan untuk hal-hal yang lebih jauh lagi oleh alat negara, adalah sah dan tidak bisa dituntut. Restriksi yang sangat menyiksa saat itu ialah diperbolehkannya alat negara untuk membubarkan perkumpulan dengan jumlah peserta lebih dari 10 orang bila dipandang perkumpulan itu berpotensi untuk melakukan hal-hal yang dianggap makar. Bila dalam suatu pertemuan, yang dilakukan atas seijin pemerintah sekalipun, ternyata pertemuan tersebut dipandang melakukan pembahasan yang bersifat makar, maka pemerintah boleh membubarkan secara paksa pertemuan tersebut, dan menangkap orang yang hadir.

Dalam kondisi seperti ini maka seseorang, kelompok, atau media yang berani mengambil posisi kritis kepada pemerintah harus bersiap dipangkas hak-hak sipilnya, seperti anggota Pokja Petisi 50 (Alm. Ali Sadikin, dkk), eksponen 66 (Hariman Siregar, Marsilam Simanjuntak, dkk), Almarhum Gus Dur bersama NU-nya, Megawati Soekarnoputri bersama PDI-nya, Adnan Buyung Nasution, Budiman Sujatmiko, Alm. Munir, dll. Bila hal itu terjadi pada media maka bersiaplah media itu untuk di breidel, seperti Tabloid Detik, Majalah Tempo, dan Majalah Editor.

Ketiga kondisi ini kemudian membawa negara ke dalam kondisi yang lebih jauh, yakni nasib dan arah negara berada dan diatur oleh segelintir orang saja. Dapat ditebak, selera dan kepentingan segelintir orang tersebut menjadi arah kebijakan negara: tanpa pernah ada pembahasan tentang aspirasi rakyat. Sebaliknya, rakyat tidak boleh protes karena segala bentuk protes berarti mengundang alat negara untuk ’menyelesaikannya’. Keresahan masyarakat hanya boleh disalurkan melalui doa-doa saja; tidak boleh dalam bentuk pamflet, selebaran, apalagi demonstrasi.

Sebagai sebuah konsekuensi logis, individu, atau kelompok kritis menjadi sangat terbatas jumlahnya karena setiap orang pada dasarnya takut menanggung resiko yang sangat berat, yakni hilangnya hak-hak sipil. Selain itu, alat negara juga tidak segan untuk menangkap individu-individu kritis dengan tujuan memberikan efek jera (shock therapy) kepada individu yang lain yang berancang-ancang untuk mengambil posisi yang sama.

Demikianlah, saat itu lokomotif perubahan kemudian mengkristal kepada tokoh-tokoh yang memiliki basis organisasi massa besar, seperti Gus Dur dengan NU-nya, Megawati dengan PDI-nya, dan kantong-kantong gerakan mahasiswa secara umum. PMII bersama beberapa organisasi yang tergabung dalam kelompok Cipayung saat itu menjadi enclave (daerah kantong) bagi mahasiswa kritis, idealis, pejuang dan kekuatan moral (moral force), dan, meskipun penulis kurang sependapat, agents of change.

Inilah sekedar paparan tentang romantisme gerakan mahasiswa hingga tahun 90-an. Tidak lebih dan tidak kurang, ini hanya sebuah bahan untuk merefleksi dan perbandingan untuk menganalisa saat ini. Harapan penulis, kita dapat mendudukkan ini dalam logika hermeneutik.

Kondisi Saat ini, bagi penulis yang mengalami dua masa, yakni masa Orde Baru dan masa pasca Reformasi, kondisi saat ini telah banyak mengalami perubahan-perubahan penting terkait keterbukaan informasi, penyaluran aspirasi masyarakat, dan kontrol masyarakat terhadap pengelolaan negara. Perubahan ini, satu dan lain hal, disebabkan oleh perubahan dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi, pendekatan militeristik ke pendekatan sipil, dan pendekatan represif ke pendekatan kesejahteraan.

Pertama ialah perubahan dari sistem sentralistik ke sistem otonomi daerah. Terlepas dari adanya dan banyaknya anomali dalam pelaksanaannya, hari ini negara kita sudah menganut sistem desentralisasi dalam pengelolaannya, yakni melalui kebijakan otonomi daerah. Konsekuensinya, terdapat distribusi kewenangan dalam pengambilan keputusan teknis, yakni antara pusat dan daerah. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya alam sudah tidak lagi tersentral.

Selain itu, dengan dihapuskannya ambivalensi posisi dan peran alat keamanan negara, trias politika sudah mulai berfungsi sehingga pilar penyelenggara negara tidak lagi berpusat kepada eksekutif saja melainkan lembaga yang lain, yakni legislatif dan yudikatif pun relatif sudah mulai memperoleh tempatnya. Implikasi dari kebijakan ini ialah hilangnya perwakilan perwakilan alat keamanan negara dari gedung dewan. Implikasi yang lebih jauh ialah jabatan-jabatan strategis pada tingkat menteri, kepala BUMN, gubernur, bupati, camat, dan lurah tidak lagi semata-mata harus dari kalangan dengan mind-set berpola top-down melainkan dari kalangan yang memiliki akar yang kuat pada masyarakat basis atau orang-orang yang betul-betul profesional. Pada jabatan-jabatan tersebut telah disusun prosedur dan seleksi fit and proper test.

Kedua ialah perubahan dari pendekatan militeristik ke pendekatan sipil dalam menangani masyarakat. Dapat kita lihat bahwa hari ini terdapat keterbukaan saluran komunikasi antara penyelenggara negara dengan masyarakat. Melalui berbagai saluran komunikasi yang ada, masyarakat dapat memperoleh akses informasi yang cepat dan akurat atas berbagai kondisi dan fenomena di lapangan. Pemerintah tidak dapat lagi mengontrol media, karena, sejak dibukanya kebebasan untuk memperoleh informasi maka masyarakat tidak lagi mengandalkan media cetak tapi juga dapat memperolehnya melalui media-media visual (televisi swasta), dan media virtual (internet, dan situs-situs pertemanan).

Selain itu, hari ini juga telah dibuka kebebasan berpendapat, dan berekspresi bagi masyarakat. Masyarakat tidak perlu khawatir akan diawasi dan ditangani oleh “sekretariatsekretariat” alat keamanan negara karena semua “sekretariat” itu telah dikembalikan lagi fungsinya hanya sebagai tangsi atau barak saja. Semua kondisi ini kemudian menghapus semua restriksi untuk berkumpul yang pernah dilakukan pada masa lalu. Satu hal yang patut disyukuri ialah hari ini hampir-hampir tidak lagi terdengar ada pertemuan yang dibubarkan karena dianggap makar.

Terakhir, yakni yang ketiga ialah adanya perubahan dari pendekatan represif ke pendekatan kesejahteraan dalam menyikapi protes dan perbedaan pendapat. Pada masa lalu, protes, atau bahkan berbeda pendapat dengan opini resmi pemerintah, oleh alat keamanan negara, disikapi sebagai makar. Kalangan yang melakukan protes akan ditangkap dan baru dilepaskan bila terbukti tidak ada indikasi ke sana. Ini semua dilakukan karena segala bentuk protes dan perbedaan pendapat dianggap sebagai ancaman terhadap kedaulatan negara dan pemerintah. Saat ini, pendekatan ini sudah diganti dengan pendekatan prosperity approach, yakni protes disikapi sebagai ekspresi adanya ketimpangan dalam penyelenggaraan negara, atau ada ketidakpuasan dari masyarakat. Konsekuensi atas perubahan ini ialah tindakan untuk melakukan penahanan, penjemputan, dan interogasi telah dikembalikan kepada kepolisian; bukan lagi tentara. Oleh karena itu, seseorang, kelompok, atau media yang berani mengambil posisi kritis kepada pemerintah akan diproses secara hukum di pengadilan; tidak serta merta langsung ditangkap atau dibreidel seperti pada masa lalu.

Secara singkat dapat dinyatakan di sini bahwa komunikasi antara pemerintah dengan rakyat pada umumnya telah berubah dari kondisi yang penuh kebuntuan menjadi keterbukaan. Di satu sisi masyarakat tidak lagi takut untuk menyampaikan aspirasinya, dan di sisi yang lain pemerintah juga tidak lagi enggan untuk mengundang masyarakat untuk menyalurkan aspirasinya melalui berbagai saluran yang ada.

Semua kondisi ini membawa dampak positif yang besar sekali bagi masyarakat. Akan tetapi, tanpa disadari, peran-peran perantara (middle man) dari kelompok kritis dan idealis seperti mahasiswa sebagaimana pada era 90-an menjadi tidak ada lagi. Hari ini yang dibutuhkan oleh masyarakat adalah kelompok yang dapat mendampingi mereka dalam kerja-kerja serius dan berdurasi panjang, seperti LSM, misalnya, dan kelompok-kelompok yang mampu melakukan transformasi di berbagai bidang yang ultimate goal-nya ialah terciptanya keadilan sosial, terutama yang berbasis keadilan ekonomi.

Tidak dibutuhkannya sosok yang berperan sebagai middle man ini merupakan konsekuensi logis dari terbukanya akses informasi dan komunikasi. Terasa sangat wajar bila kemudian kita mendapati suatu fenomena bahwa individu-individu yang dulu merupakan pendekar-pendekar demokrasi, sebagian memang sudah meninggal, tapi sebagian yang masih hidup, seperti Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simanjuntak, Hariman Siregar, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain telah melakukan transformasi diri dari peran-peran middle man menjadi profesional-profesional di bidangnya.

Sayang, mahasiswa dan gerakan mahasiswa menjadi kebingungan untuk mendefiniskan diri mereka dalam arus perubahan makro ini. setelah peran middle man-nya berangsur menghilang, sebagian mahasiswa menjadi sangat akademis (kuliah, menyelenggarakan penelitian kreatif mahasiswa, dan bercita-cita melanjutkan ke S2 dan S3 karena berminat melakukan kerja-kerja akademis), sebagian lagi menjadi sangat pragmatis (kuliah, cepat lulus supaya bisa segera masuk bursa tenaga kerja, dan kerja-kerja part-timer yang dapat menyokong kemandirian finansial, seperti bergabung dengan lembaga-lembaga bimbingan belajar, menyelenggarakan kursus-kursus privat, kerja-kerja pengambilan data lapangan atas penelitian yang dilakukan dosen, dan lain-lain), serta sebagian lagi sangat hedonis (sebagian besar waktunya habis untuk chatting, dan kongkow-kongkow di cafe atau warung kopi). Ada satu varian lagi yang dibelakang hari semakin memperoleh tempat di hati mahasiswa, yakni mahasiswa yang sangat fundamentalis (kelompok mahasiswa yang terinspirasi oleh gerakan Wahabi atau Salafi).

Lebih disayangkan lagi, ternyata hari ini pengelompokan mahasiswa bukan lagi berdasarkan kategori: yang aktif di organisasi intra kampus (OMIK) dan organisasi ekstra kampus (OMEK); melainkan pragmatis, hedonis, akademis, dan fundamentalis. Artinya, PMII hari ini hanya menjadi kovarian saja, yakni kumpulan mahasiswa (mungkin mereka adalah mahasiswa yang terkategori sebagai pragmatis, hedonis, akademis, dan, meskipun agak sulit,  fundamentalis), yang mungkin kebetulan memiliki kesamaan background history, kesamaan simbol dalam beragama, atau sekedar karena berteman dengan kader PMII. Tidak lebih dan tidak kurang !

Kelihatannya, kondisi ini tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di OMEK lain dalam kelompok Cipayung. Mohon dikoreksi kalau penulis keliru !

Refleksi, posisi dan peran kemasyarakatan mahasiswa hingga tahun 90-an, yakni sebagai middle man memiliki kemiripan dengan apa yang digambarkan oleh Sik, Anping, dan Loong (2004) pada pola komunikasi antara generasi pertama dengan generasi ketiga pada imigran Cina di New Zealand.  yang melakukan mediasi komunikasi antara generasi pertama dengan generasi ketiga imigran Cina di New Zealand. Sik et al. (2004) memperoleh temuan bahwa proses brokerage oleh generasi kedua kepada generasi pertama dan generasi ketiga dalam komunikasi keluarga imigran Cina di New Zealand terbagi menjadi dua, yakni Simple Communication System of Brokering dan Complex Communication System of Brokering.   Simple Communication System of Brokering ialah proses brokerage yang terjadi secara linear dari Broker sebagai inisiator ke Brokeree 1. Selanjutnya  Brokeree 1 akan berkomunikasi secara langsung ke Brokeree 2 tanpa melalui Broker lagi. Penggambaran komunikasi ini adalah sebagai berikut. 

Brokere - Broker - Brokere

1. Simple Communication System of
Kondisi brokering system seperti  ini dapat kita temukan dalam gerakan-gerakan mahasiswa dalam menyikapi keresahan di masyarakat dimana masyarakat sebenarnya tidak pernah memberikan mandat secara khusus, namun mahasiswa mengambil inisiatif untuk melakukan brokering, sebagai aktualisasi dari kesadaran bahwa mahasiswa adalah kelompok pejuang moral dan elit pemuda. Representasi dari format ini ialah gerakan-gerakan pemuda dan mahasiswa pada tahun 1928, pada masa perjuangan kemerdekaan, Tritura, peristiwa Malari, dan juga gerakan yang menuntut pembubaran SDSB, serta Gerakan Reformasi tahun 1998. Dalam peristiwa-peristiwa ini mahasiswa menyampaikan suara hati masyarakat kepada penguasa, kemudian penguasa mengambil tindakan yang memberikan dampak langsung kepada masyarakat (tanpa harus dimandatkan kepada mahasiswa).

Sementara, Complex Communication System of Brokering ialah proses brokerage yang terjadi secara bolak balik dari broker ke brokeree I dan kembali lagi ke broker. Setelah itu,  broker akan melanjutkan pesan ke brokeree 2, dan dari brokeree 2 pesan kembali ke broker. 

Brokere = Broker = Brokere

2. Complex Communication System of
Format ini sedikit khas merupakan gerakan penyampaian aspirasi masyarakat untuk hal-hal yang menyangkut isu khusus, lokal, dan berskala kecil. Contoh dari format ini ialah pendampingan yang dilakukan mahasiswa terkait penggusuran-penggusuran, ruislag atas beberapa bangunan penting dan bersejarah, pembebasan tanah yang dilakukan secara semena-mena atau menyalahi peruntukanperuntukan lahan terbuka hijau, dan isu-isu lokal lainnya. Dalam kasus-kasus ini masyarakat meminta bantuan kepada mahasiswa, kemudian mahasiswa menyuarakannya kepada penguasa, dan selanjutnya penguasa juga menyampaikan sikapnya kepada masyarakat melalui mahasiswa.

Pada kedua format brokering system ini mahasiswa melakukan peran-peran  sebagai penerjemah simbol-simbol budaya, peneliti, otoritatif, penggalang koalisi, dan aktifis. Peran-peran selaras dengan identifikasi peran-peran yang harus dilakukan oleh seorang mediator agar proses mediasi dapat dilaksanakan dengan sukses (Haenn, dan Casagrande, 2007).

Peran-peran itulah yang dibutuhkan untuk mampu menorehkan prestasi yang bukan saja tercapainya tujuan-tujuan jangka pendek, melainkan pembentukan budaya, politik, dan perubahan mendasar lainnya dalam suatu negara (Christensen, 2010).  Peran-peran tersebut merupakan refleksi dari posisi, menurut Robert Redfield sebagaimana dikutip oleh Clifford Geertz (1960), culture broker, yakni orang yang berdiri tegak di tengah-tengah persimpangan dua budaya, dan menerjemahkan satu budaya ke budaya lain secara timbal balik. Konsep berdiri di tengah-tengah persimpangan budaya menjadi titik tekan sebagaimana dinyatakan oleh Hallowel yang dikutip Michie (2003). Bila seseorang telah berpindah dari satu budaya kepada budaya yang lain, maka dia sudah bergeser dari perannya sebagai culture broker, karena dia sudah menjadi bagian dari budaya tempat dia berpindah. Konsep ini memiliki kemiripan dengan konsep change agent-nya Rogers (1983), yakni seorang profesional yang bertugas untuk melakukan penyebaran inovasi sebagaimana diinginkan oleh change agency.

Merefleksi atas apa yang terjadi terhadap posisi dan peran mahasiswa saat ini dimana mahasiswa sudah tidak dibutuhkan lagi perannya sebagai middle man, dalam kaidah Bahasa Arab, posisi dan peran ini sama dengan hamzah washal ber-harakat sukn. Pada awal kalimat,  hamzah washal  akan  ber-harakat kasrah.  Ia tertulis (tuktab) dan terbaca (tunthoq). Akan tetapi, ketika ia berposisi di tengah kalimat maka ia ber-harakah sukn, artinya ia tertulis (tuktab) namun tidak terbaca (la tunthoq).

Oleh karena itu, mahasiswa yang di dalamnya ada PMII, harus mengubah paradigma. Ia tidak boleh lagi melihat dirinya sebagai middle man, atau hamzah washal, kecuali ia siap untuk terus menerus dalam posisi disfungsi (sukn) dan perlahan akan memfosil. Proses fosilisasi diri middle man yang sudah mengalami disfungsi (sukn) ini telah menjadi perhatian Clifford Geertz pada tahun 1960.

Melalui artikel berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, Geertz (1960) menghentak alam bawah sadar para kyai di Indonesia dan kalangan intelektual di dunia untuk melihat bukti dari proposi yang dihasilkannya. Melalui tulisan ini penulis mengingatkan bahwa posisi mahasiswa sebagai middle man saat ini memiliki kemiripan dengan kondisi peran para kyai yang dipotret oleh Geertz pada tahun 1960. Bila tidak hati-hati, proposisi Geertz bahwa peran kyai akan tererosi dan perlahan akan habis dari bumi Indonesia, yang dikemudian hari ternyata tidak terbukti, malah justru menemukan pembuktiannya pada mahasiswa. Berikut ini paparan diskursus tentang keberlanjutan peran kyai sebagai culture broker di Indonesia.

Secara umum, kajian atas peran perantara budaya (middle man atau culture broker) masih berkutat pada respon terhadap proposisi Geertz (1960) yang menyatakan bahwa dalam perkembangan negara modern, ulama diprediksi tidak akan mampu mempertahankan perannya di masyarakat bila tidak ada perubahan pandangan pada diri ulama dan perubahan kurikulum pesantrennya. Melalui artikel berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Broker, Geertz (1960) menyatakan bahwa keberlanjutan peran kyai dan keterlibatannya dalam negara Indonesia Baru, berada pada dua pilihan, yakni tetap memegang teguh pada tradisi yang ada dengan meninggalkan hal-hal yang berbau pemerintah, atau menangkap peluang sebagai guru-politisi yang mengharuskannya untuk memiliki kemampuan-kemampuan untuk menghubungkan antara tradisi kota dan desa.

Dalam pandangan Geertz, kedua pilihan ini sama-sama mengandung resiko. Pilihan pertama beresiko terhadap erosi peran kyai dalam penyelenggaraan negara; sementara pilihan kedua mengandung resiko untuk diambilnya langkah-langkah perubahan atas sikap kyai terhadap politik dan perubahan kurikulum di pesantren untuk menangkap peluang-peluang dalam penyelenggaraan negara. Ini semua perlu diambil untuk mempertahankan peran ulama sebagai culture broker yang mampu melakukan mediasi antara budaya besar (great tradition) dan budaya kecil (little tradition) di Indonesia. Akan tetapi, secara tersirat, Geertz memprediksi bahwa peran ulama dalam pembangunan Indonesia Baru akan tererosi dan perlahan akan menghilang mengingat pilihan kedua dalam proposisinya akan sulit dilakukan oleh ulama.

Satu dekade berikutnya, proposisi Geertz ini terbantahkan oleh temuan dalam penelitian yang dilakukan Dhofier (1983) dan Horikoshi (1987) yang melakukan penelitian pada tahun 70-an. Pembuktian yang sama juga dilakukan oleh Mansurnoor (1990), dan Dirdjosanjoto (1999) yang sama-sama melakukan penelitian pada kajian tentang peran tokoh agama pada dekade 90-an.

Dalam penelitiannya, Dhofier (1983) maupun Horikoshi (1987) sama-sama mengemukakan temuan penting, yakni keberadaan kyai dan pesantren terbukti masih eksis, dan posisi serta peran mereka tetap penting dalam perkembangan Indonesia Baru. Salah satu faktor penting yang menyebabkan terpeliharanya eksistensi dan peran kyai ialah karena posisi ulama di Indonesia berbeda dengan kolega mereka di Timur Tengah. Ulama di Timur Tengah, sebagaimana dinyatakan Horikoshi (1987), dan Mansurnoor (1990) merupakan bagian dari birokrasi; sementara ulama di Indonesia bukan merupakan bagian dari birokrasi. Dengan kata lain, peran ulama di masyarakat ditentukan oleh kemampuannya untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat; bukan oleh kemampuannya untuk melayani negara. Oleh karena itu, selama ulama masih melayani dan dibutuhkan oleh masyarakat maka peranperannya tetap dibutuhkan.

Dialektika antara hasil penelitian Horikoshi (1987) tentang keberlanjutan peran tokoh agama dan hasil penelitian Dhofier (1983) yang menulis tentang aspek-aspek penting dari tradisi pesantren yang dapat menjaga popularitas kyai, dan pandangan hidup kyai tentang masyarakat dan masa depan memberikan gambaran yang saling melengkapi. Aspek-aspek penting yang berpengaruh dalam menjaga popularitas di masyarakat ialah ulama membangun suatu mekanisme khusus yang terdiri dari kesatuan ideologi, jaringan kekeluargaan, dan politik aliran (agama); dan kemampuannya untuk melakukan transformasi diri sesuai tuntutan masyarakat. Kemampuan tokoh agama untuk mempertahankan peran di masyarakat ini kemudian disempurnakan oleh Mansurnoor (1990) yang melakukan penelitian di Madura.

Dalam kajian Mansurnoor (1990) diperoleh temuan bahwa keberhasilan ulama untuk mempertahankan peran di sosial disebabkan oleh kesigapannya untuk merespon perubahanperubahan yang terjadi: semakin lengkap informasi yang diperoleh (well-informed) seorang ulama maka semakin cermat dan, oleh karenanya, reaksi yang diambilnya semakin menguntungkannya. Oleh karena itu, terkait respon terhadap informasi yang diperolehnya, Mansurnoor mengajukan proposisi berupa kategorisasi ulama, yakni konservatif, adaptif, dan progresif.

Selanjutnya, dalam penelitian yang dilakukan penulis pada tahun 2010 tentang Dinamika Peran Tokoh Agama dalam Difusi Pengembangan Hutan Rakyat: Studi Fenomenologi di Komunitas Madura di Kabupaten Probolinggo, ditemukan benang merah atas perdebatan tentang kemampuan tokoh agama (kyai) di Indonesia untuk tetap berperan dalam tatanan negara bangsa bernama Indonesia. Benang merah itu ialah pada konsep konsistensi posisi sebagai culture broker dan konsep transformational leadership. Ternyata, perdebatan yang terjadi pada penelitian-penelitian terdahulu telah memberikan proposisinya pada salah satu konsep ini atau pada keduanya. Masing-masing memberikan kontribusi atas diperolehnya gambaran lengkap dari dinamika peran tokoh agama hingga hari ini. Oleh karena itu, tidak ada hasil penelitian terdahulu yang dibantah oleh hasil penelitian yang dilakukan penulis, karena setelah dilakukan analisa pada penelitian-penelitian terdahulu justru ditemukan benang merah dengan hasil penelitian ini, baik terhadap dua konsep secara bersama-sama atau pada salah satunya saja. Gambaran benang merah itu ialah sebagai berikut.

Pertama, teori yang dihasilkan oleh penulis mendukung proposisi Geertz (1960). Sebagaimana dipaparkan di atas, melalui tulisannya yang berjudul The Javanese Kijaji: The Changing Roles of Cultural Brokers, Geertz (1960) memberikan prediksi bahwa kyai-kyai di Indonesia tidak akan mampu berperan secara signifikan dalam tatanan negara “Indonesia Baru” karena kyai-kyai dipandang tidak siap untuk berperan di sana. Indikasinya ialah bahwa sangat sulit menyatukan kyai dalam sebuah partai yang terpusat dan terstruktur karena masing-masing kyai terbiasa bekerja secara independen dan saling tidak mau berada di bawah yang lain. Akibatnya, kyai-kyai hanya mampu berkiprah sebagai pemimpin simbolik yang dibutuhkan hanya semata-mata sebagai vote getter. Akibat selanjutnya, partai yang didukung oleh kyai kemudian diisi dengan politisi-politisi profesional dan sekuler, sehingga para kyai tidak mampu mengawal misinya. Oleh karena itu, melihat kondisi yang seperti ini, Geertz (1960) menyatakan bahwa dalam posisi dimana terjadi kontestasi antara Islam Modern dan Islam Tradisional, maka Islam Tradisional akan terpinggirkan karena kelompok ini tidak akan mampu memenangkan kontestasi itu. Akan tetapi, Kelompok Islam Tradisional, dalam proposisi Geertz (1960), akan mampu mempertahankan peran dalam tatanan Indonesia baru bila: (1) kelompok ini bersedia mengubah kurikulum di pesantren sedemikian rupa sehingga tetap mampu memuaskan masyarakat desa, namun secara instrumental dapat bermanfaat bagi pertumbuhan Indonesia baru; (2) kelompok ini bersedia mengubah sikapnya terhadap perpolitikan nasional di tingkat lokal sedemikian rupa sehingga kyai dapat berperan dalam membuat kebijakan partai; bukan sekedar menjadi vote getter. Dari proposisi ini terlihat bahwa Geertz (1960) membantu kalangan pemimpin Islam tradisional tentang bagaimana cara melakukan transformasi diri dan pesantren agar dapat bekiprah dalam perpolitikan dan penataan Indonesia Baru. Benang merah dengan hasil penelitian yang dilakukan penulis ialah “kemampuan tokoh agama untuk melakukan transformasi diri akan sangat menentukan dinamika perannya di masyarakat di masa mendatang”.

Kedua, teori yang dihasilkan dalam penelitian yang dilakukan penulis mendukung proposisi Dhofier (1983) yang menyatakan bahwa pesantren dengan para kyainya masih tetap memiliki peran penting dalam perkembangan Indonesia karena pesantren dan kyai memiliki pandangan hidup untuk tetap berdiri tegak di atas landasan tradisi masa lampau sembari melakukan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian terhadap tradisi baru yang dibutuhkan. Dengan demikian maka ada elemen-elemen yang dibuang dan ada elemen-elemen baru yang dimasukkan. Elemen-elemen lama yang masih dipertahankan misalnya semangat, nilai-nilai, dan hakikat pesantren. Sementara nilai baru yang dimasukkan seperti pengorganisasian pengajaran, pengembangan wawasan, penguasaan keterampilan yang dibutuhkan zaman dan mampu diselenggarakan oleh pesantren tanpa mengubah visi pesantren. Inilah yang membuat pesantren dan para kyai mampu exist dan tetap berperan di masyarakat. yang dilakukan satu dekade berikutnya. Ini berarti langkah-langkah transformatif berpengaruh terhadap kelangsungan peran kyai dan juga pesantren.

Dhofier (1983) mencoba melihat keberlangsungan peran tokoh agama di Indonesia dalam perspektif yang berbeda dengan Geertz (1960). Bila Geertz (1960) menggunakan perspektif Islam Tradisional dan Islam Modern dimana ia memperkirakan bahwa karier peran para kyai, sebagai pemimpin Islam Tradisional, dalam penataan Indonesia Baru akan berakhir karena kalah dalam kontestasi melawan kalangan Islam Modern, Dhofier (1983), sebaliknya, melihat fenomena Islam di Indonesia tidak dalam dikotomi Tradisional dan Modern, melainkan menggunakan pendekatan continuity and change, atau keberlangsungan di tengah perubahan.

Terlihat di sini bahwa meskipun Dhofier (1983) menggunakan pendekatan yang berbeda dengan Geertz (1960), namun proposisi yang dihasilkan memiliki kesamaan, yakni dibutuhkannya transformasi. Hanya saja, Geertz (1960) masih sebatas prediksi, dan saran tentang apa dan bagaimana transformasi harus dilakukan, sementara Dhofier (1983) memberikan eksplanasi transformasi apa yang telah dilakukan, dan mengapa transformasi itu bisa terjadi di pesantren dan kyai. Ini sekaligus menjawab mengapa hingga akhir tahun 1970-an pesantren dan kyai tetap ada dan mampu berperan di masyarakat.  Benang merah dengan penelitian yang dilakukan penulis ialah kemampuan melakukan transformasi diri berpengaruh terhadap keberlangsungan peran tokoh agama di masyarakat.

Ketiga, teori yang dibangun dari penelitian penulis mendukung proposisi yang ditawarkan oleh Horikoshi (1987), yakni terkait dengan kemampuan kyai dalam mempertahankan perannya di masyarakat. Horikoshi (1987) memberikan tiga proposisi, yakni(1) pemimpin tradisional dan masyarakat masih memiliki hubungan fungsional, (2) perubahan yang telah atau sedang terjadi membutuhkan fungsi ke-perantara-an, (3) strategi pemimpin tradisional tetap fungsional dengan fungsi keperantaraan itu sendiri. Terlihat di sini bahwa dua hal yang ditawarkan Horikoshi (1987), yakni poin (1) dan poin (3) merupakan perwujudan dari langkahlangkah sebagai transformational leadership, sedangkan poin (2) merupakan posisi tokoh agama sebagai culture broker. Dengan demikian, proposisi Horikoshi (1987) didukung penuh oleh teori yang dihasilkan dalam penelitian penulis.

Keempat, teori yang dihasilkan melalui penelitian penulis mendukung Mansurnoor (1990) yang memberikan tiga proposisi terkait kemampuan kyai mempertahankan perannya di masyarakat. Ketiga proposisi itu ialah (1) kemampuan kyai menjaga kecocokan arti dan  simbol-simbol agama bagi masyarakat, (2) kepemilikan akses terhadap informasi strategis dalam jaringan komunikasi, dan (3) keterikatan struktural dengan penduduk desa dalam menghadapi perubahan-perubahan di tingkat lokal.

Poin (1) dan (2) dari proposisi Mansurnoor (1990) merupakan aktualisasi dari langkah-langkah dan attributes dari transformational leadership. Sebagaimana dipahami bahwa akses transformational leadership mempersyaratkan expert power dari seorang pemimpin. Salah satu piranti untuk membangun expert power ialah dengan memiliki informasi yang lebih cepat daripada pengikutnya. Sementara, poin (3) merupakan pengejawantahan dari posisi tokoh agama sebagai culture broker, karena keterikatan dengan struktur masyarakat lokal merupakan langkah untuk menjaga kepercayaan dari masyarakat dan secara bersamaan untuk menghindari bergesernya posisi sebagai agen dari posisi sebelumnya sebagai culture broker.

Kelima, teori yang dihasilkan melalui penelitian penulis juga mendukung proposisi yang diajukan Dirdjosanjoto (1999). Dalam penelitiannya di daerah Muria, Dirdjosanjoto (1999) menghasilkan proposisi yang berkaitan dengan kemampuan tokoh agama untuk mempertahankan perannya di masyarakat. Proposisi itu menyatakan bahwa peran kyai di masyarakat akan tetap mampu bertahan bila kyai mampu menjaga sumber-sumber kewibawaannya yang berasal dari (1) dukungan dan penerimaan masyarakat, (2) dukungan kelembagaan, (3) jaringan hubungan antar kyai, (4) hubungan dengan pusat-pusat kekuasaan, dan (5) kualitas pribadi dalam bidang moral dan ilmu. Identifikasi poin-poin ini terpilah dalam dua hal, yakni sumber-sumber kewibawaan yang merupakan hasil dari konsistensi tokoh agama untuk terus berada pada posisi culture broker (poin 1, dan 2), dan sumber-sumber kewibawaan yang merupakan attributes dari transformational leadership (poin 3, 4, dan 5).

Keenam, teori yang dihasilkan oleh penelitian ini mendukung proposisi yang diajukan oleh Turmudi (2003). Dalam penelitiannya tentang peran kyai dalam bidang politik yang dilakukan di Jombang, Jawa Timur, Turmudi (2003) mengajukan proposisi bahwa, dalam bidang politik, kyai akan tetap menjalankan peran penting di masyarakat bila ia mampu mempertahankan posisi moralnya di masyarakat, dan masyarakat masih mempercayainya sebagai pembimbing moralitas bagi mereka. Ini sejalan dengan salah satu poin dari teori yang dihasilkan oleh penelitian ini, yakni dinamika peran tokoh agama dipengaruhi oleh konsistensinya pada posisi sebagai culture broker yang dibuktikan dengan loyalitas keberpihakannya kepada kepentingan umat.

Dengan kata lain, Secara singkat dapat disimpulkan bahwa bila para kyai hingga hari ini masih memiliki peran di masyarakat, dan itu kemudian membantah prediksi dari Geertz, maka itu disebabkan oleh kemampuan kyai dan pesantren untuk melakukan perubahan-perubahan penting menyangkut konsep diri dan pembekalan atas piranti-piranti yang dibutuhkan zaman. Hasilnya, hari ini kita masih bisa menikmati produk-produk pesantren, terutama aksi-aksi akrobatik para kyai dalam merespon dinamika masyarakat, dalam konstelasi politik nasional maupun lokal yang semakin hari menjadi semakin menarik untuk dikaji. Adalah menarik untuk melihat apakah mahasiswa, khususnya PMII akan mampu bertahan dalam kurun waktu 20 tahun yang akan datang. Semua tergantung pemikiran, dan keberanian untuk berubah dari mahasiswa sendiri.

Tawaran Paradigma: Proposisi, sudah dipaparkan di depan bahwa kelompok individu kritis pada zaman Orde Baru, seperti Gus Dur, Megawati Soekarnoputri, Adnan Buyung Nasution, Marsilam Simanjuntak, Hariman Siregar, Budiman Sujatmiko, dan lain-lain telah melakukan transformasi diri dari peran-peran middle man menjadi para profesional (pengacara, eksekutif, dokter, dan politisi). Sebagian dari mereka di kemudian hari secara kebetulan menjadi pemimpin partai sehingga kita dapat menikmati jurus-jurus, serta atraksi akrobatik dari posisi middle man menjadi elemen yang masuk dalam penyelenggaraan negara (partai politik yang kemudian memiliki fraksi di DPR dan DPRD), sebagian lagi bertransformasi menjadi elemen penyeimbang yang berada di luar trias politika (LSM, media massa, dll), atau betul-betul menjadi kelompok profesional (kelompok profesi). Terlihat bahwa untuk melakukan transformasi ini, ada kata kunci yang sama yang harus dimiliki, yakni ’menjadi profesional’. Oleh karena itu, penulis mencoba memberikan proposisi yang bisa difungsikan sebagai tawaran paradigma baru bagi PMII.  Proposisi:

PMII akan segera menjadi fosil gerakan mahasiswa, karena tidak mampu lagi mempertahankan elan vitalnya di masyarakat, bila:
1. PMII masih terjebak dalam pandangan bahwa PMII tetap merupakan kelompok middle man yang semata-mata mengandalkan moral force sebagai basis gerakannya;
2. PMII tidak melakukan perubahan mendasar dalam kurikulumnya sedemikian rupa sehingga tetap memperkuat kualitas ketauhidan kadernya, dan kurikulum yang mampu mengantarkan kader-kadernya untuk berkiprah secara profesional, baik di dalam lingkaran penyelenggaraan negara, maupun di luar lingkaran.

Artinya, melalui proposisi ini ada satu implikasi praktis yang harus segera dilakukan oleh PMII, yakni segera mengubah pandangan tentang diri, dan kadernya dari kungkungan perasaan sebagai middle man menjadi lembaga persemaian/pengkaderan bagi calon-calon profesional tanpa harus meninggalkan identitas. Dengan perubahan ini maka PMII akan mampu tertulis (tuktab) dan terbaca (tunthoq) dimanapun ia berposisi: sebuah posisi yang sebangun dengan hamzah qatha’ dalam kaidah bahasa Arab. Di satu sisi, ini semua tidak menyalahi tujuan PMII, yakni menjadi pribadi muslim yang bertaqwa, cakap dan bertanggung jawab (profesional) dalam mengamalkan ilmu-ilmunya. di sisi lain, perubahan paradigma ini menuntut PMII untuk segera mendesain kurikulum yang mampu mengarahkan tercapainya visi ini.

Sebagai kesimpulan, rumusan paradigma yang dapat penulis tawarkan tentang siapa dan bagaimana mahasiswa dan bagaimana seharusnya PMII memperlakukan mahasiswa ialah:

“Mahasiswa ialah Calon Profesional, dan Calon Pemimpin” Terkait hal ini, PMII harus membangun paradigma baru:

“PMII ialah Lembaga Perkaderan Calon Profesional Bertauhid, dan Calon Pemimpin Karismatik” Tema gerakan yang diusung ialah:

”Konstruktif-Transformatif”

Tentang bagaimana implementasi paradigma ini dalam bentuk strategi dan pola perkaderannya, biarlah untuk sementara waktu penulis menunggu masukan dari Sahabat-Sahabat sekalian. Paling tidak, kita telah memiliki subject matter atau sesuatu untuk dibahas dalam kurun waktu sementara ini. Mudah-mudahan dapat kita tuntaskan agenda-agenda dalam roadmap terkait penentuan identitas, pilihan paradigma, strategi dan pola pengkaderan, kurikulum dan silabus, serta plotting materi. Masih panjang memang !

Wallahu a’lam bi al-shawab.
Continue reading Sejarah Perkembangan PMII