Analisa Sosial

Info Rayon Sakera -  Dalam analisis sosial, Auguste Comte, seorang pemikir fenomenal dari Prancis yang hidup pada abad 18 M, merupakan sosok yang dikenal sebagai “Bapak” Sosiologi. Karyanya yag berjudul “Course of Positive Philosophy”, disebut-sebut sebagai pengantar awal yang menjelaskan pengertian tentang masyarakat secara sistematis dan ilmiah. Menurut Johnson bahwa buku ini mencerminkan suatu komitmen yang kuat terhadap pendekatan ilmiah dalam menjelaskan fenomena-fenomena sosial dalam masyarakat (society). (Lawang, 1986).

Lebih jauh Comte menegaskan bahwa masyarakat harus dipelajari secara ilmiah dan mendalam sebagai suatu keseluruhan dan kesatuan sistem. Pandangan yang bersifat “systemic” dari comte ini pada perkembangannya dipertegas oleh Herbert Spencer dengan pendekatan “organic analogy”nya. Pada dasarnya ia melihat masyarakat sebagi suatu organisme dimana elemen-elemennya saling berhubungan satu sama lain sedemikian rupa sehingga membentuk suatu struktur yang bekerja untuk memenuhi fungsifungsi tertentu dalam rangka kelangsungan hidupnya.

Di lain pihak, sekelompok tokoh-tokoh lainnya yang sering disebut sebagai kaum “individualist” percaya bahwa, tidak mungkin untuk mengerti hakekat keteraturan sosial tanpa mempelajari secara mendalam interaksi perorangan antara individu-individu yang terlibat didalamnya (partisipating individual). John Stuart Mills misalnya mengatakan bahwa sebagai suatu kumpulan dari individu, suatu masyarakat atau kolektiva sosial tidak mungkin muncul sebagai suatu fenomena baru yang bebas dari fenomena individu. Di dalam suatu kumpulan massa seorang individu tidak akan berubah menjadi unsur yang lain sebagaimana hidrogen dan oxigen akan berubah menjadi air. Di samping itu Max Weber mengatakan bahwa untuk mengerti keteraturan sosial kita harus mencoba menginterpretasikan tindakan sosial dari individu, karena pada hakekatnya keteraturan sosial adalah hasil dari tindakan individu.(Berry, 1982).

Perbedaan faham dari para “founding father” sosiologi tersebut terus diwarisi hingga kini. Saat ini kita mengenal berbagai aliran pemikiran (School of Thought) di dalam ilmu sosiologi Yakni: Structural functionalism, Conflict approac, Social exchange theory, Symbolict interactionism, dsb. Kelompok aliran pemikiran diatas berkisar dari yang sangat bersifat “collectivistic” seperti kaum struktural fungsional sampai kepada kelompok yang sangat “individualistic” yakni kelompok interaksionalisme simbolik.

Secara historis, sebenarnya sosiologi adalah sebuah disiplin ilmu-pengetahuan yang lahir atas adanya keingin-tahuan masyarakat Eropa Barat pada masa itu terhadap dirinya sendiri, terhadap eksistensi dan hakekat masyarakat Eropa. Karena sejak abad 15/16 M sampai abad 18 M, masyarakat Eropa Barat mengalami sebuah proses perubahan sosial yang sungguh luar biasa dan belum pernah terjadi pada abad-abad sebelumnya. Kondisi ini tidak lain dipicu adanya “Revolusi Intelektual” yang didendangkan oleh gerakan “Renaisance dan Humanism”. Gerakan tersebut secara drastis merubah tatanan masyarakat Eropa. Eropa, sebelum Renaisance dan Humanism (age of enligment) mengalami masa-masa kegelapan (abad kegelapan) yang dicirikan dengan: struktur masyarakat yang stagnan, takhayul berkembang, intelektualitas mengalami kebuntuan dan jauh dari peradaban, (Saunders, 1994).

Dengan munculnya gerakan Renaisance dan Humanisme tersebut, maka berubahlah masyarakat Eropa Barat menjadi sebuah tatanan struktur modern yang mapan dan progressif dengan ritme perubahan yang setiap detiknya semakin cepat dan tidak terduga. Norma, nilai dan pola-pola hubungan mengalami banyak pergeseran. Dari sini muncul kesadaran kolektif dari masyarakat Eropa untuk lebih memahami tentang dirinya, tentang apa dan bagaimana menjelaskan situasi yang terjadi pada masyarakat Eropa tersebut. Sosiologi - yang dikembangkan Comte - dianggap sebagai sebuah disiplin keilmuan yang mampu menjelaskan berbagai fenomena dari situasi kondisi masyarakat Eropa tersebut. Sehingga wajar bila kehadiran sosiologi mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Eropa Barat pada sekitar abad 18 dan 19 M.

Paradigma Analisis Sosial 
Sebagai alat anlisis terhadap berbagai fenomena kemasyarakatan, analisa sosial merupakan suatu metode alternatif dalam memahami realitas sosial berikut berbagai persoalan yang muncul didalamnya. Menurut Roem terdapat dua matra dalam melakukan analisa sosial, yaitu : metode pendekatan dan arah tujuan. Dalam konteks ini penulis mencoba untuk memahami analisis sosial sebagai instrumen sosial  dengan menggunakan pendekatan paradigma sosiologi. Hal ini bertujuan untuk lebih memudahkan para pembaca dalam memetakan teori-teori yang ada dalam ilmu-ilmu sosial.

Secara konseptual paradigma merupakan pandangan fundamental tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subjectmatter) disiplin ilmu. Paradigma dengan demikian merupakan tentang apa yang seharusnya menjadi obyek studi disiplin tertentu. Paradigma adalah kesatuan konsensus yang terluas dalam satu disiplin yang membedakan antara komunitas ilmuwan (subkomunitas) yang satu dengan yang lain. Paradigma menggolonggolongkan, mendefinisikan dan menghubungkan antara exemplarexemplar, teori-teori dan metode-metode serta instrumen yang terdapat didalamnya. Ada tiga yang menyebabkan terjadinya perbedaan paradigmatik dalam sosiologi.

Pertama, adanya perbedaan pandangan filsafat yang mendasari pemikiran masing-masing komunitas sosiolog tentang pokok persoalan semestinya dipelajari sosiologi. Asumsi dasar atau aksioma antara komunitas sosiolog yang satu dengan yang lain berbeda.

Kedua, sebagai akibat logis yang pertama, maka teori-teori yang dibangun dan yang dikembangkan masing-masing komunitas itu berbeda.

Ketiga, metode yang dipakai untuk memahami dan menerangkan substansi disiplin inipun berbeda. Bahkan unsur politik juga bisa menjadi sebab terjadinya pertentangan.

Paradigma bukan saja mengkaji tentang apa yang harus dipandang, namun juga memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga membuat perbedaan antara ilmuwan satu dengan lainnya. Menurut Thomas Kuhn (dalam Ritzer,  2002), paradigma merupakan alat analisis untuk memberikan dasar ukuran sesuai dengan keharusan logika yang telah disetujui oleh komunitas penganutnya. Lebih lanjut paradigma merupakan konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, dan prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial. Paradigma merupakan konstelasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik, sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun, sosiologi, dalam kesatuan kesepakatan tertentu untuk meyakini keberadaan sesuatu yang baru. Paradigma adalah model atau pegangan untuk memandu mencapai tujuan.(Ritzer, 2002).

Dalam studi analisa sosial, paradigma menempati posisi urgen dan mendasar sebagai pijakan yang dipakai dalam berdialog dengan realitas sosial. Karena paradigma masing-masing memiliki cara pandang tersendiri dalam memahami realitas, mengingat dengan luasnya obyek sosial yang ada, dengan beragamnya ruang dan waktu sekaligus latar belakang para ilmuwan yang berbeda, akan melahirkan perbedaan dalam melakukan suatu analisis.

1. Paradigma Analisis Sosial
Menurut George Ritzer (1982) analisis sosial secara paradigmatik dikembangkan dalam tiga model, yaitu :
a. Paradigma Fakta Sosial
b. Paradigma Definisi Sosial
c. Paradigma Prilaku Sosial

Ketiganya dianalisa dengan masing-masing komponen paradigma yang telah digariskan sesuai dengan pengertian di atas.Hal mendasar dalam perbedaannya adalah asumsi-asumsi dasarnya mengenai hakekat dasar kenyataan sosial.
a. Paradigma Fakta Sosial
Dalam paradigma fakta sosial, setiap masalah harus diteliti didalam dunia nyata sebagaimana orang mencari barang sesuatu yang lainnya dan tidak dapat dipelajari hanya sekedar melalui introspeksi. Menurut Durkheim Fakta sosial terdiri atas dua macam :
1. Dalam bentuk material, yaitu sesuatu yang dapat disimak, ditangkap dan diobservasi yag menjadi bagian dari dunia nyata (external World). Contoh arsitektur dan norma hukum.
2. Dalam bentuk non material, yaitu sesuatu yang dianggap nyata (external), yang berupa fenomena yang bersifat inter subjective yang hanya  dapat muncul dari kesadaran manusia. Contoh egoisme, altruisme dan opini.

Adapun obyek dari fakta sosial adalah: peranan sosial, pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok, pengendalian sosial dan sebagainya. Teori fakta sosial berkecenderungan untuk memusatkan perhatiannya pada fungsi dari satu fakta sosial terhadap fakta sosial yang lain. Fungsi adalah akibat-akibat yang dapat diamati yang menuju adaptasi atau penyesuaian suatu sistem. Oleh karena itu fungsi bersifat netral secara ideologis. Maka, Merton juga mengajukan teori dis-fungsi. Sebagaimana struktur sosial atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-fakta sosial lainnya, sebaliknya ia bisa menimbulkan akibat-akibat negatif. Contoh, perbudakan yang terdapat pada sistem sosial Amerika lama, khususnya bagian selatan.

Dalam paradigma fakta sosial pokok persoalan yang harus diangkat adalah Fakta-fakta sosial. Secara garis besarnya fakta sosial ini terdiri atas dua tipe yaitu, struktur sosial dan pranata sosial. Secara terperinci fakta sosial terdiri atas: kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (Societies)., sistem sosial, posisi, peranan, nilainilai, keluarga, pemerintah, dan sebagainya. Menurut Peter Blan tipe dasar dari fakta sosial ini:
1. Nilai-nilai umum (Common Values)
2. Norma yang terwujud dalam kebudayaa/sub kultur

Norma-norma dan pola nilai ini biasa disebut institusion atau disini diartikan dengan pranata. Sedangkan jaringan hubungan sosial dimana intraksi sosial berproses dan menjadi terorganisir serta melalui mana posisi-posisi sosial dari individu dan sub- kelompok dapat dibedakan, sering diartikan sebagai struktur sosial. Dengan demikian, struktur sosial dan pranata sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan analisa sosial menurut fakta sosial.

b. Paradigma Definisi Sosial.
Exemplar paradigma ini adalah salah satu aspek yang sangat khusus dari karya Max Weber, yakni dalam analisanya tentang tindakan sosial (social action). Menurutnya sosiologi sebagai studi tentang tindakan sosial antar hubungan sosial. Inti tesisnya adalah “tindakan yang penuh arti” dari individu. Tindakan sosial adalah tindakan individu sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Sebaliknya tindakan yang ditujukan pada benda mati/fisik tanpa ada hubungan dengan orang lain termasuk tindakan sosial.

Bertolak dari konsep dasar tentang tindakan sosial dan antar hubungan sosial itu terdapat lima ciri pokok menurut Weber yang menjadi sasaran analisis sosial, yaitu:
1. Tindakan manusia, yang menurut si aktor mengandung makna yang subyektif. Ini meliputi berbagai tindakan nyata.
2. Tindakan nyata yang brsifat membatin sepenuhnya dan bersifat subyektif.
3. Tindakan yang meliputi pengaruh positifdari suatu situas, tindakan yang sengaja diulangserta tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
4. Tindakan itu diarahkan kepada seseorang atau kepada beberapa individu.
5. Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu.

Untuk mempelajari dan memahami tindakan sosial tersebut diperlukan sebuah metode. Weber menganjurkan melalui penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding) atau dalam terminologi Weber sendiri disebut dengan: verstehen. Dalam melakukan analisis sosial, seorang analis harus mencoba menginterpretasikan tindakan si aktor, dalam artian memahami motif dari tindakan si aktor.

c. Paradigma Prilaku Sosial
Paradigma yang dimotori skinner ini memusatkan perhatiannya kepada proses interaksi. Tetap secara konseptual berbeda dengan paradigma tindakan definisi sosial. Menurut prilaku sosial individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang datang dari luar dirinya. Jadi tingkah laku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial. Sebagai perbandingan selanjutnya paradigma fakta sosial melihat tindakan individu sebagai ditentukan oleh norma-norma, nilai-nilai, serta struktur sosial.

Paradigma prilaku sosial memusatkan perhatiannya kepada antar hubungan antara individu dan lingkungannya. Lingkungan itu terdiri atas:
1. Bermacam-macam obyek sosial.
2. Bermacam-macam obyek non sosial Singkatnya hubungan antar individu dengan obyek sosial dan hubungan antara individu dengan non sosial dikuasai oleh prinsip yang sama. Secara garis besar pokok persoalan analisis sosial menurut paradigma ini adalah tingkah laku individu yang berlangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan menimbulkan perubahan terhadap tingkah laku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkah laku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor. Dan pada paradigma ini para sosiolog atau analis sosial lebih memusatkan pada proses interaksi.(Ritzer,2002).

Fokus Analisi: Struktur Sosial dan Proses Kemasyarakatan 
Dalam Antropologi sosial, konsep struktur sosial sering identik dengan organisasi sosial, terutama bila dikaitkan dengan masalah kekerabatan, kelembagaan dan hukum masyarakat yang tergolong bersahaja. Menurut Firth dalam (Syani, 1994), bahwa organisasi sosial berkaitan dengan pilihan dan keputusan dalam hubungan-hubungan sosial aktual. Struktur sosial mengacu pada hubungan-hubungan sosial yang lebih fundamental yang memberikan bentuk dasar pada masyarakat, yang memberikan batas-batas pada aksi-aksi yang mungkin dilakukan secara organisatoris. Sedangkan E.R. Leach menetapkan konsep tersebut pada cita-cita tentang distribusi kekuasaan di antara orang-orang dan kelompok-kelompok.

Dari pendapat di atas dapat diartikan bahwa struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Jadi struktur sosial tidak hanya mengandung unsur kebudayaan belaka, melainkan sekaligus mencakup seluruh prinsip-prinsip hubungan-hubungan sosial yang bersifat tetap dan stabil.

Dengan tidak mengurangi dari pengertian struktur sosial tersebut, maka secara singkat struktur sosial juga dapat didefinisikan sebagai tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat yang di dalamnya terkandung hubungan timbal balik antara status dan peranan dengan batas-batas perangkat unsur-unsur sosial yang menunjuk pada suatu keteraturan prilaku, sehingga dapat memberikan bentuk sebagai suatu masyarakat. Sebagaimana disebutkan Soerjono Soekanto, bahwa unsur-unsur sosial tersebut meliputi: (1) Kelompok sosial, (2) Kebudayaan, (3) Lembaga sosial, (4) Stratifikasi sosial, (5) Kekuasaan dan wewenang.

Lembaga-lembaga dalam struktur sosial tersebut, antara lain: Kelompok dan asosiasi baik yang bersifat paguyuban atau patembayan, keluarga, lembaga sosial agama dan kemasyarakatan, lembaga pendidikan, lembaga politik-ekonomi.

Dalam perkembangannya lembaga-lembaga sosial tersebut akan mengalami suatu proses pelembagaan. Seperangkat hubungan sosial melembaga apabila: (1) sudah dikembangkan suatu sistem yang teratur tentang status dan peran, dan (2) sistem harapan status  dan peran sudah umum diterima di masyarakat. Sebagai contoh di Amerika, bahwa kencan (dating) telah memenuhi kedua kualifikasi tersebut. Dimana seperangkat peran mengatur secara sistematis hak dan kewajiban antara pria sebagai peminang dan wanita penerima dan sebagainya dengan dilindungi sejumlah pembatasan atau pengendalian untuk mencegah komplikasi, dengan demikian kencan menjadi bagian dari lembaga perkawinana dan keluarga. Namun pada perkemabangannya proses sosial tersebut berubah seiring dengan pola hubungan muda-mudi sudah semakin tidak formal dan tanpa batasan dan pengendalian tertentu, sehingga menunjukkan lembaga telah berubah.

Proses sosial, merupakan aspek dinamis dari kehidupan masyarakat dengan didalamnya terdapat suatu proses hubungan antara manusia dengan sesamanya. Proses tersebut berupa antar aksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari secara terusmenerus. Antar aksi (interaksi) sosial, dimaksudkan sebagai pengaruh timbal balik antara dua belah pihak baik antar individu atau kelompok dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Proses sosial pada dasarnya merupakan siklus perkembangan dari struktur sosial yang merupakan aspek dinamis dalam kehidupan masyarakat. Bentuk-bentuk proses sosial kemasyarakatan tersebut antara lain: (1) kerjasama (co-operation), (2) persaingan (competition), (3) pertikaian atau pertentangan (conflict) dan (4) akomodasi (acomodation).

Pendekatan Analisis Sosial
Adapun pendekatan masalah yang digunakan dalam suatu analisis sosial dengan mencermati pada struktur sosial dan proses kemasyarakatannya dapat dirumuskan dalam dua model, yaitu: (1) fungsional dan (2) konflik.

Fungsional
Oleh kebanyakan pengeritik, pendekatan fungsional-struktural ini dianggap sebagai dunia statis, dunia tanpa perubahan radikal, meskipun dalam kenyataannya sering digunakan dalam menata struktur dan sistem sosial di masyarakat. Padahal sebenarnya, fungsional-struktural juga menerangkan tentang perubahan sosial. Setidaknya terdapat 7 ciri umum prespektif fungsionalstruktural, yaitu, (Lauer: 1989):
a. Masyarakat harus dianalisis sebagai keseluruhan, selaku “sistem yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan”.
b. Hubungan sebab dan akibat bersifat “jamak dan timbal balik”.
c. Sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan “kesetimbangan dinamis” (homeostatic equilibrium), penyesuaian terhadap kekuatan yang menimpa sistem menimbulkan perubahan minimal di dalam sistem itu.
d. Integrasi sempurna tak pernah terwujud, setiap sistem mengalami ketegangan dan penyimpangan namun cenderung dinetralisir melalui institusionalisasi.
e. Perubahan pada dasarnya berlangsung secara lambat, lebih merupakan proses penyesuaian ketimbang perubahan revolusioner.
f. Perubahan adalah hasil penyesuaian (adaptation) atas perubahan yang terjadi di luar sistem, pertumbuhan melalui differensiasi dan melalui penemuan-penemuan internal.
g. Masyarakat terintegrasi melalui nilai-nilai bersama.

Tujuh hal di atas merupakan prinsip-prinsip dasar dari prespektif fungsional struktural yang mula-mula dikembangkan oleh Talcott Parsons.

Masih menurut Parsons, setiap sistem sosial (masyarakat) mempunyai empat struktur penting, yaitu (Jhonson : 1986) :
a. Struktur Kekerabatan, struktur-struktur ini berhubungan dengan pengaturan ungkapan perasaan seksual, pemeliharaan dan pendidikan anak muda.
b. Struktur Prestasi Instrumental dan Stratifikasi, strukturstruktur ini menyalurkan semangat dorong individu dalam memenuhi tugas yang perlu untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat keseluruhan sesuai dengan nilainilai yang dianut bersama. Suatu strategi pokok untuk menjamin motivasi ini adalah memberikan penghargaan kepada seseorang sesuai dengan sumbangan yang diberikan.
c. Teritorialitas, kekuatan, dan integrasi dalam sistem kekuasaan, Semua masyarakat harus mempunyai suatu bentuk organisasi teritorial. Hal ini perlu untuk mengontrol konflik internal dan untuk berhubungan dengan masyarakat lainnya, atau, semua masyarakat mempunyai suatu bentuk organisasi politik. d. Agama dan Integrasi nilai, pentingnya nilai-nilai yang dianut bersama sudah sering kali ditekankan. Masalah membatasi nilai dan komitmen yang kuat terhadap nilainilai itu sangat erat hubungannya dengan institusi agama.

Keempat struktur penting dalam sebuah sistem sosial tersebut, untuk dapat berjalan secara benar harus memperhatikan prasyarat-prasyarat fungsional. Lebih lanjut, dengan dibantu oleh Robert F Bales, Parson (Jhonson, 1986) mengajukan prasyaratprasyarat fungsional tersebut dalam menganalisa sistem sosial yang dikenal dengan konsep AGIL, yaitu :
a. A - Adaptation, menunjuk pada keharusan bagi sistemsistem sosial untuk menghadapi lingkungannya. Ada dua dimensi permasalahan yang dapat kita bedakan. Pertama, harus ada “suatu penyesuaian dari sistem itu terhadap ‘tuntutan kenyataan’ yang keras yang tak dapat diubah” (inflexible) yang datang dari lingkungan. Kedua, ada proses “transformasi aktif “ dari situasi itu.
b. G – Goal Attainment, merupakan persyaratan fungsional yang muncul dari pandangan Parsons bahwa tindakan itu diarahkan pada tujuan-tujuannya. Namun, perhatian yang diutamakan di sini bukanlah tujuan pribadi individu, melainkan tujuan bersama para anggota dalam suatu sistem sosial.
c. I – Integration, merupakan persyaratan yang berhubungan dengan interalasi antar para anggota dalam sistem sosial itu.
d. L – Latency Pattern Maintenance, konsep latensi (latency) menunjukkan pada berhentinya interaksi. Para anggota dalam sisitem sosial apa saja bisa letih dan jenuh serta tunduk pada sistem sosial lainnya di mana mungkin mereka terlibat. Karena itu, semua sistem sosial harus berjaga-jaga bilamana sistem itu sewaktu-waktu kocar-kacir dan para anggotanya tidak lagi bertindak atau berinteraksi sebagai anggota sistem.

Keempat prasyarat fungsional tersebut terbagi dalam dua dikotomi, yaitu :
a. Dikotomi eksternal-internal, fungsi integrasi dan pemeliharaan pola laten dipusatkan pada masalah internal, dan  adaptasi dan pencapaian tujuan dipusatkan pada hubungan dengan lingkungan eksternal.
b. Dikotomi instrumental-consummatory, fungsi adaptasi dan pemeliharaan pola merujuk instrumental, dan pencapaian tujuan dan integrasi merujuk pada consummatory.

Keempat prasyarat fungsi dan dua dikotomi itulah yang akan mengendalikan perubahan sosial dalam sebuah sistem sosial, sehingga perubahan yang terjadi bersifat lambat dan stabil, tidak revolusioner; lebih dari itu, sistem sosial tidak mengalami guncangan yang berlebihan. Selanjutnya, Parsons membagi 4 jenis proses perubahan, yaitu, (Lauer: 1993) :
a. Proses keseimbangan, meliputi proses di dalam sistem sosial.
b. Perubahan struktural, mencakup perubahan fundamental dari sistem sosial.
c. Diferensiasi struktural, meliputi perubahan satu subsistem atau lebih tetapi tidak menyebabkan perubahan secara keseluruhan.
d. Evolusi, yakni proses yang melukiskan pola perkembangan masyarakat sepanjang waktu.

Pada dasarnya, teori fungsional menekankan proses-proses sosial yang didasarkan pada konsensus nilai dan menyumbang pada solidaritas, integrasi dan keseimbangan.

Demikianlah beberapa konsep penting untuk mencemati masalah dalam analisis kemasyarakat dengan melihat perkembangan dan perubahan masyarakat dalam struktur dan proses sosialnya menurut prespektif fungsional-struktural yang dikembangkan oleh Parsons, dan kemudian disempurnakan oleh Merton dengan menambahkan konsep fungsional dan dis-fungsional. Di mana, menurut Merton, pertentangan antara fungsional (fungsi yang diharapkan) dan dis-fungsional (fungsi yang tidak diharapkan), dapat menimbulkan perubahan sosial dalam sebuah struktur/sistem sosial, yang diawali dengan dis-fungsional latent.

Konflik

Dalam banyak hal (meskipun tidak seluruhnya) teori konflik masa kini mencerminkan pengaruh Marx. Khususnya aliran teori kritis banyak mengambil asumsi filosofis Marx dan menngunakan gaya analisanya dalam memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk dominan dalam kesadaran menyatakan dan memperkuat pola-pola dominasi sosial politik. Kebebasan dari dominasi serupa itu dan pemenuhan kebutuhan manusia secara maksimal merupakan tujaun yang sangat ditekankan oleh para ahli teori kritis.

Teori Marx memberikan semacam batas yang penting dalam bidang intelektual sehingga para ahli teori sejak Marx dapat dengan mudah dikelompokkan menurut apakah mereka mengambil pendekatan Marxis atau non-Marxis (tidak semua teori konflik harus Marxis). Apakah seseorang ahli setuju atau tidak dengan posisi Marx, ada beberapa segi kenyataan sosial yang dia tekankan yang tidak dapat diabaikan oleh teori apapun, antara lain adalah pengakuan akan adanya struktur kelas dalam masyarakat, kepentingan ekonomi yang saling bertentangan di antara orangorang dalam kelas berbeda, pengaruh yang besar dari posisi kelas ekonomi terhadap gaya hidup seseorang serta bentuk kesadaran, dan pelbagai pengaruh dari konflik kelas dalam menimbulkan perubahan struktur sosial, yang kiranya sangat penting.

Sebagaimana pendekatan Mills dengan memberikan prioritas yang jauh lebih besar pada kebutuhan individu. Dalam salah satu tema utamanya The Sociological Imagination adalah bahwa analisa sosiologis harus ditekankan pada usaha memperlihatkan hubungan antara masalah pribadi individu dan isu-isu sosial yang lebih luas yang berakar dalam struktur dasar masyarakat itu. Masalah pribadi individu, seperti masalah yang bersifat material (penganguran, kemiskinan) atau masalah psikologis seperti kerja tanpa makna atau alienasi, dapat ditunjukkan secara umum akarnya dalam struktur masyarakat. Menurut Manheim, bahwa pertumbuhan dalam rasionalitas formal dalam struktur sosial, seperti yang terungkap dalam organisasi birokratis yang besar dan kompleks, berdampak pada penyempitan kebebasan manusia dan hilangnya pemahaman mereka yang subtantif mengenai dinamika struktur organisasi keseluruhan dimana mereka terlibat. Dengan kata lain individu mengambil bagian dalam sistem yang sangat rasional, tetapi tanpa sepenuhnya sadar akan bagaimana peran-perannya yang khusus itu cocok satu sama lain dalam struktur keseluruhan.

Seorang sosiolog dan salah satu penganut teori konflik dari Jerman Ralf Dahrendorf (dalam Johnson, 1986) menolak tekanan kaum fungsionalis pada integrasi, nilai dan konsensus normatif, serta stabilitas yang dipandang berat sebelah. Dia berusaha mendasarkan teorinya pada suatu perspektif Marxis yang modern yang menerima meluasnya konflik sosial yang didasarkan pada oposisi kepentingan kelas dan konsekuensi konflik itu dalam melahirkan perubahan sosial. Tetapi berbeda dengan aliran Frankfurt, Dahrendorf tidak menggunakan perspektif Marxis sebagai suatu dasar untuk kritik budaya yang radikal. Dia menekankan tingkat analisa struktur sosial. Khususnya dia mengkritik Marx mengenai teori pembentukan kelas dan teori konflik kelasnya yang hanya relevan untuk tahap awal kapitalisme, bukan untuk masyarakat industri post-capitalist. Teori Dahrendorf ini lebih umum daripada teori Marx, karena karena dapat berlaku tidak saja bagi masyarakat kapitalistik, tetapi juga sosialitik. Seperti difahami bahwa, Marx mendasarkan teorinya pada pembentukan kelas pada pemilikan alat produksi, sementara Dahrendorf berpendapat bahwa kontrol atas alat produksi merupakan faktor yang lebih penting dan bukan kepemilikan alat produksi.

Menurut Dahrendorf (dalam Johnson, 1986) fungsi atau konsekuensi konflik adalah menimbulkan perubahan struktur sosial, khususnya yang berhubungan dengan struktur otoritas. Ditambahkan ada tiga tipe perubahan struktural:
a. perubahan keseluruhan personel di dalam posisi dominasi.
b. peruabahan sebagaian personel dalam posisi dominasi.
c. digabungkannya kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang berkuasa.

Perubahan personel, baik seluruh atau sebagaian, hanyalah berarti bahwa orang-orang dalam kelas subordinat masuk ke dalam kelas yang berkuasa. Salah satu dari kedua perubahan ini biasanya akan memperbesar kemungkinan terjadinya perubahan yang ketiga, tetapi perubahan yang ketiga dapat pula terjadi tanpa perubahan personel yang berarti. Sesungguhnya jika semakin berhasil kelas yang berkuasa itu dapat mengikuti strategi perubahan yang ketiga, semakin kurang kemungkinan kedua tipe yang pertama dari perubahan struktural itu akan terjadi.

Dahrendorf meringkaskan asumsi teori fungsionalis (konsensus atau integrasi) yang bertentangan dengan teori konflik, sebagai berikut: Teori Fungsional:
a. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemenelemen yang secara relatif mantap dan stabil.
b. Setiap masyarakat merupakan suatu struktur elemenelemen yang terintegrasi dengan baik.
c. Setiap elemen dalam suatu masyarakat mempunyai fungsi, yakni memberikan sumbangan pada bertahannya masyarakat itu sebagai suatu sistem.
Setiap struktur sosial yang berfungsi didasarkan pada suatu konsensus nilai diantara para anggotanya.

Teori Konflik:
a. Setiap masyarakat kapan saja tunduk pada proses perubahan;perubahan sosial ada di mana-mana.
b. Setiap masyarakat kapan saja memperlihatkan perpecahan dan konflik; konflik sosial ada di mana-mana.
c. Setiap elemen dalam suatu masyarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan.
d. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, teori konflik mengarahkan perhatiannya pada kepentingan-kepentingan kelompok dan orang yang saling bertentangan dalam struktur sosial dan pada cara di mana konflik kepentingan ini menghasilkan perubahan sosial yang terus-menerus.

Sintesis Pendekatan
Oleh karena banyaknya analisa kaum fungsionalis yang melihat bahwa konflik adalah dis-fungsional bagi suatu kelompok, Lewis A. Coser (dalam Poloma, 2000) mencoba mengemukakan kondisi-kondisi di mana secara positif, konflik membantu mempertahankan struktur sosial. Konflik sebagai proses sosial dapat merupakan mekanisme lewat mana kelompok-kelompok dan batas-batasnya terbentuk dan dipertahankan. Selanjutnya konflik dapat menyatukan para anggota kelompok lewat pengukuhan kembali identitas kelompok. Apakah konflik sumber kohesi atau perpecahan kelompok tergantung atas asal mula ketegangan, isu tentang konflik, cara bagaimana konflik ditangani, dan yang terpenting tipe struktur di mana konflik itu berkembang.

Konflik dibedakan dengan in-group dan out group, antara nilai-inti dengan masalah yang lebih bersifat pinggiran, antara konflik yang menghasiolkan perubahan struktural lawan konflik yang disalurkan lewat lembaga-lembaga katup penyelamat (safetyvalve), dan antara konflik pada struktur berjaringan longgar dan struktur berjaringan ketat. Konflik juga bisa dibedakan dengan konflik realistis yang berasal dari kekecewaan terhadap tuntutantuntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraan kemungkinan keuntungan para partisipan, dan yang ditujukan pada obyek yang dianggap mengecewakan, dan non-realistis, yaitu konflik yang hukan berasal dari tujuan-tujuan saingan yang antagonis, tetapi dari kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak, (Coser dalam Poloma, 2000). Keseluruhan butir-butir tersebut merupakan faktor-faktor yang menentukan fungsi konflik sebagai suatu proses sosial. Artinya, pendekatan fungsional juga bisa digunakan dalam melihat konflik sebagai suatu proses sosial yang sehat dalam masyarakat.
Continue reading Analisa Sosial